Gus Yahya: Kerangka Kerja Intelektual Jadi Fondasi Peradaban
Rabu, 21 Agustus 2024 | 21:00 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat memberikan sambutan pada pelantikan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) M Jauharul Ma'arif, di Auditorium Hasyim Asy'ari Lt 3, Unugiri, Bojonegoro, Jawa Timur, pada Rabu (21/8/2024). (Foto: Tim Media Unugiri)
Bojonegoro, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa salah satu komponen dalam fondasi peradaban adalah kerangka kerja intelektual. Hal ini ia perhatikan dari pola kebangkitan peradaban sepanjang Sejarah di berbagai negara dunia dan lintas zaman, mulai Makedonia, Babilonia, Romawi Kuno, hingga peradaban Islam.
“Kita selalu melihat pola bahwa peradaban itu dibangun di atas fondasi yang salah satu komponennya adalah kerangka kerja intelektual atau intellectual framework," ujarnya dalam acara pelantikan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) M Jauharul Ma'arif, di Auditorium Hasyim Asy'ari Lt 3, Unugiri, Bojonegoro, Jawa Timur, pada Rabu (21/8/2024).
Di masa lalu, lanjutnya, kerangka kerja intelektual itu dikaitkan atau diberi label dengan nuansa-nuansa agama. Kerangka intelektual itu yang lantas dilabeli sebagai praktis adalah agama. "Walau mungkin sebetulnya belum secara komprehensif dinyatakan sebagai sistem nilai yang membentuk agama, tetapi dalam praktek berfungsi seperti agama," terang Gus Yahya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pola itu terjadi berulang sejak zaman Yunani Kuno hingga masa kini. Terbukti dalam sejarah Doho-Kediri, Majapahit, Demak, Mataram, dapat ditemukan pola yang sama, yakni adanya kerangka kerja intelektual yang dijadikan bagian dari fondasi peradaban yang telah dibangun. Menurutnya, itulah yang kemudian menjadi sebab masyarakat hari ini bisa mengenal tokoh-tokoh seperti Joyoboyo dan Empu Tantular.
Pada Era Dinasti Abbasiyah, jelasnya, khususnya pada zaman Khalifah al-Makmun, upaya untuk membangun konstruksi intelektual dilakukan melalui proyek besar-besaran dengan impor atau internalisasi warisan intelektual dari zaman Yunani Kuno. Hal tersebut menjadikan Dinasti Abbasiyah tumbuh sebagai peradaban yang sangat maju secara ilmu pengetahuan bahkan teknologi. Pola ini selalu ditemukan di dalam sejarah bangkitnya peradaban-peradaban di seluruh dunia.
Sebelumnya, di awal pidatonya, Gus Yahya menceritakan bahwa Sunan Giri atau Raden Ainul Yaqin adalah sosok yang memiliki otoritas akademis mengenai syari'at di antara para Walisongo. Karenanya, Sunan Giri pun menjadi rujukan bagi wali-wali yang lain untuk mendapatkan kerangka syariat yang memiliki legitimasi untuk berbagai macam gagasan yang dinisiasi oleh para wali.
"Termasuk wayang misalnya. Sunan Kalijaga punya gagasan untuk mengembangkan seni wayang, seperti yang terkenal sekarang ini," terang Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Wayang disebut juga dengan istilah Ringgit yang memiliki arti Sunan Giri Sing Nganggit (Sunan Giri yang membuat). Konon, hal tersebut bermula saat Sunan Kalijaga menggagas Wayang dan berpikir bagaimana cara membuat wayang yang tidak melanggar syariat.
"Karena diketahui bahwa kita mempunyai batasan syariah yang membatasi penggambaran makhluk hidup," kata Gus Yahya.
Sebab, Sunan Giri adalah ahli fiqih yang otoritatif, lanjutnya, maka gagasan Sunan Kalijaga tentang wayang tersebut dikonsultasikan pada Sunan Giri. Karenanya, desain wayang dengan sedemikian rupa itulah merupakan karyanya Sunan Giri. Wayang yang sampai hari ini dijumpai hanya membangkitkan imajinasi tentang manusia, tapi tidak berwujud manusia, sehingga hal tersebut tidak bisa diharamkan.
"Sebetulnya kalau dipikir, Sunan Kalijaga itu ketika menggagas wayang sebagai media dakwah, beliau bisa saja langsung mengeksekusi gagasan itu dengan imajinasi yang ia miliki tanpa harus repot-repot mencari kerangka fiqih untuk gagasan tentang wayang itu. Tapi Sunan Kalijaga mementingkan diri untuk berkonsultasi pada Sunan Giri mengenai hal itu," terang Gus Yahya.
Menurutnya, para Walisongo pada waktu itu memang sudah memiliki kesadaran bahwa yang sedang mereka perjuangkan bersama saat itu adalah inisiasi suatu peradaban baru di Nusantara. Dengan begitu, posisi kerangka dari sebuah gagasan menjadi pokok paling penting dalam sebuah peradaban.
Kontributor: Husnul Khotimah