Gresik, NU Online
Katib 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf menekankan pentingnya Nahdlatul Ulama membuka cara berpikir dalam merespons dinamika yang terjadi pada masa kini. Sebab menurut kiai yang kerap disapa Gus Yahya ini, dengan cara demikian, NU dapat menatap masa depan.
"Kita sudah tidak berbicara untuk mempertahankan masa lalu, tapi kita harus memiliki semangat untuk menyambut masa depan," kata Gus Yahya saat mengisi Seminar Nasional bertajuk 'Positioning dan Strategi Transformasi NU dalam Dinamika Milenial'. Kegiatan diselenggarakan atas kerja sama Ikatan Keluarga Besar Alumni MA Assa’adah Bungah dan Institut Agama Islam (IAI) Qomaruddin Bungah Gresik, Jawa Timur, Ahad (1/12).
Gus Yahya menyoroti substansi kinerja NU sebagai organisasi Muslim terbesar di dunia dalam merespons perubahan zaman. Menurutnya, idealnya hubungan jamiyah dengan jamaah dalam tubuh NU itu seperti hubungan pemerintah dengan warga negaranya, yakni, mengetahui kebutuhan warganya, sehingga aspirasinya dapat dipenuhi atau difasilitasi.
"Hanya saja NU ini belum mampu seperti itu, karena memang kita tidak memiliki klaim teritori, kita tidak bisa memaksa secara fisik terhadap problematika tersebut," katanya.
Ia memandang, sebagai organisasi sosial keagamaan, gairah NU masih terpusat menyoroti peristiwa-peristiwa keagamaan dan kurang memperhatikan sosial kemasyarakatnnya.
“Kalau NU masih bisa berperan secara efektif (memberikan perhatian kepada masyarakat), maka NU akan semakin relevan dan dibutuhkan,” ucap Katib ‘Aam PBNU tersebut.
Selain Gus Yahya, pembicara lain yang mengisi seminar ini ialah akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim. Gaffar, demikian pria ini disapa, menyoroti kerja-kerja pemberdayaan kalangan muda pesantren di era kepemimpinan Gus Dur.
Menurutnya, belajar di pesantren bukan hanya belajar dari aspek kognitif, tapi juga menyeluruh dengan pendidikan spiritual, sehingga muncul dedikasi terhadap ilmu secara totalitas. Pergolakan anak muda NU di era Gus Dur yang rata-rata dilaksanakan di tingkat arus bawah, katanya, berdampak pada kelenturan sikap kiai-kiai NU dalam merespon perubahan tata kelola zaman. Ketimpangan struktural yang dihadapi NU saat represi Orde Baru merupakan faktor yang membuat Gus Dur memobilisasi anak-anak muda NU.
“Gerakan civil society yang penting di tahun 90-an dilakukan kalangan NU. Bagi saya, generasi milenial, yakni anak-anak muda adalah kunci Nahdlatul Ulama. Generasi milenial adalah esensi komunitas sosiologis NU, kalangan mileniallah yang bergerak secara penting,” tegas Gaffar.
Dalam membumbui isu global yang dihadapi oleh kaum milenial pesantren, Gaffar mengingatkan sejunlah tugas santri, yaitu perubahan tanpa merusak. Juga menjadi agen perubahan tanpa mengobok-ngobok, dan menjauhi takfiri karena tidak ada santri NU yang pulang lalu mengkafirkan orang tua dan mengkafirkan yang lain.
Seminar ini diikuti 400 peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, pengurus NU di tingkat Kabupaten Gresik, serta alumni Pesantren Qomaruddin, Gresik.
Pewarta: Afrizal, Husni Sahal
Editor: Ibnu Nawawi