Gus Yahya Sebut Monumen Kesetaraan di Tubuh NU pada Muktamar 1938 di Menes
Kamis, 11 Agustus 2022 | 14:30 WIB
Gus Yahya menyampaikan pandangan fiqih peradaban di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, Kamis (11/8/2022) pagi.
Yogyakarta, NU Online
Dalam kegiatan Halaqah Fiqih Peradaban di Madrasah Aliyah Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, Kamis (11/8/2022), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengenang perjuangan para ulama NU dalam menerapkan kesetaraan laki-laki dan perempuan di tubuh NU.
Hal itu terbukti di Muktamar Ke-13 di Menes, Pandeglang (Banten) pada 1938. Pada waktu itu, dua perempuan Sunda berpidato di hadapan para ulama dari berbagai daerah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
“Para ulama NU sejak generasi muassis (pendiri) telah melakukan inisiatif yang sangat berani dalam konteks syariah. Contohnya, pada 1938, yaitu Muktamar Menes memberi panggung kepada dua orang ibu nyai pesantren untuk tampil,” terang Gus Yahya.
Dua perempuan itu adalah Nyai Djuaesih, perempuan kelahiran Sukabumi yang tinggal di Bandung dan Siti Syarah, perempuan asal tuan rumah, yaitu Menes sendiri. Kedua perempuan itu, tuturnya, menuntut persamaan hak bagi perempuan dalam bidang pendidikan.
“Sejak itu dibuat forum khusus bagi perempuan, yang pada perkembangannya melahirkan Muslimat NU,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang itu.
Sejarah itu, bagi Gus Yahya, membuktikan bahwa kelahiran NU sebagai gerakan adalah sebagai rintisan untuk membentuk peradaban baru.
Konstruksi Turki Utsmani
Lebih lanjut, ia menceritakan perjalanan sejarah Islam sejak abad ke-12. Abad itu didominasi oleh konstruksi Turki Utsmani, yang dianggap secara sistemik sebagai representasi Islam, sehingga menjadi acuan/referensi dalam masalah keagamaan.
“Turki Utsman itu sangat agresif dalam memperluas wilayah-wilayah kekuasaan. Dan itu dilakukan terus menerus tanpa henti,” paparnya.
“Ini berlangsung selama 700 tahun. Dominasi itu berakhir sejak Perang Dunia pertama dan kemudian Perang Dunia kedua. Sejak itu Turki Utsmani dibubarkan,” sambung Gus Yahya.
Ia menerangkan bahwa Turki Utsmani melakukan publikasi kekuatan militer luar dalam. Keluar dilakukan dengan penekanan tertib sosial, sementara publikasi ke dalam lewat kajian-kajian fiqih yang dilakukan oleh fuqaha.
“Publikasi keluar dengan ekspansi sosial dan pemeliharaan tertib sosial ke dalam. Jadi pemeliharaan tertib sosial itu dlakukan dengan fiqih dan dilakukan oleh fuqaha,” terangnya.
Cara-cara itu, lanjut Gus yahya, membuat pertahanan Turki Utsmani lemah. Berbeda dengan peradaban di era Abbasiyah yang banyak melahirkan produk-produk peninggalan sejarah.
“Akibatnya tidak ada produk peradaban lain, berbeda dengan peradaban abbasiyah, banyak produk-produk yang ditinggalkan seperti monumen-monumen peradaban, padahal mereka melakukannya 200 tahun,” imbuh dia.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Alhafiz Kurniawan