Gus Yahya: Warisan Peradaban Nusantara Jadi Strategi Bangun Kebersamaan di Masa Depan
Selasa, 11 Juli 2023 | 13:00 WIB
Sosialisasi R20 Menuju ASEAN IIDC, di Hotel Santika Premier, Palembang, Senin (10/7/2023). (Foto: Panitia)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mencoba mengingatkan tentang warisan peradaban Nusantara yang berisi ajaran untuk hidup bersama dalam keberagaman. Ia berharap, warisan peradaban ini dapat menjadi strategi untuk membangun kebersamaan di masa depan dalam kemajemukan masyarakat yang sangat kompleks.
“Kita berharap, apabila ingatan kolektif tentang peradaban (dan) tentang warisan peradaban bersama yang meliputi kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik ini kita bangkitkan, (maka) bisa menjadi strategi untuk membangun kebersamaan di tengah-tengah heterogenitas yang semakin tajam dengan datangnya macam-macam pengaruh baru,” ucap Gus Yahya.
Hal itu diungkapkan Gus Yahya dalam agenda Sosialisasi R20 Menuju ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) atau Konferensi Dialog Antar-Budaya dan Antar-Agama Tingkat ASEAN, di Hotel Santika Premier, Palembang, pada Senin (10/7/2023).
Pada kesempatan itu, ia mengungkapkan bahwa masyarakat di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik sangat heterogen. Masyarakat di kawasan ini memiliki warisan budaya dan peradaban yang kurang lebih sama. Gus Yahya mengatakan bahwa ada satu masa ketika seluruh kawasan Indo-Pasifik mengadopsi satu karakter dan satu warna budaya yang sama.
Gus Yahya menjelaskan bahwa pada abad ke-3 masehi, ada seorang raja besar dari India bernama Asoka yang menghabiskan separuh kekuasaannya dengan peperangan dan pembantaian luar biasa. Tetapi kemudian, Asoka berbalik menjadi raja yang mempromosikan toleransi dan harmoni.
“Kampanye untuk toleransi dan harmoni yang dilancarkan Raja Asoka ini dilakukan dengan sangat deliberate dan dengan pengerahan kapasitas besar-besaran sehingga mencapai ke ujung-ujung Indo-Pasifik. Salah satunya tercatat di Nusantara ini,” ucap Gus Yahya.
Palembang dan Sriwijaya
Pertemuan sosialisasi menuju ASEAN IIDC 2023 kali ini sengaja dipilih untuk digelar di Palembang karena pertimbangan sejarah. Gus Yahya menjelaskan, Palembang menjadi salah satu aktor peradaban yang sangat kuat untuk kampanye toleransi dan harmoni dari Asoka itu.
“Palembang ini, saya sudah pernah menyebut ketika dalam Peringatan Harlah Ke-99 NU di Palembang ini, kita sengaja memilih Palembang sebagai salah satu tempat penyelenggaraan peringatan harlah ini karena Palembang ini adalah pewaris Sriwijaya,” katanya.
Gus Yahya menyebut Kerajaan Sriwijaya adalah suara peradaban yang paling kuat dalam sejarah Nusantara di dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dan harmoni. Kerajaan Sriwijaya berhasil mempersatukan sebagian besar dari Nusantara, dan hal itu merupakan inisiatif berskala peradaban yang dilakukan di kawasan ini.
Upaya mempersatukan itu bertahan lama sampai tujuh abad lamanya, dari abad ke-7 sampai abad ke-14, sehingga mewariskan nilai-nilai budaya dan peradaban secara sangat dalam di tengah masyarakat.
Warisan Sriwijaya
Sebelumnya, PBNU juga telah menggelar sosialisasi ASEAN IIDC 2023 di Surabaya. Gus Yahya kemudian menjelaskan tentang pertautan antara Majapahit dengan Sriwijaya. Ia mengatakan, saat Majapahit mengumumkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya merupakan warisan dari Sriwijaya.
“Jadi, Majapahit ini yang pertama kali mengalami kontroversi perbedaan agama di lingkungan kekuasaan di dalam sejarah politik Nusantara ini. Karena di seluruh sejarah peradaban dunia umat manusia di mana-mana, kalau kita bicara dari Sumeria, Mesir Kuno, Romawi Kuno, sama, bahwa peradaban itu bangkit di atas basis utama berupa dua komponen dasar yaitu etnik dan agama,” jelas Gus Yahya.
Satu etnik tertentu membawakan gagasan agama tertentu, termasuk agama-agama Pagan, membentuk satu konsolidasi politik, sehingga dari setiap peradaban yang pernah lahir ada unsur etnik dan agama. Satu agama tertentu dijadikan identitas sebagai satu etnik tertentu untuk melakukan satu konsolidasi politik.
Gus Yahya menjelaskan bahwa Majapahit mengalami kontroversi agama di lingkungan para elitenya. Sebagian elite politik Majapahit memeluk dua agama yang berbeda, yakni Buddha dan Hindu. Kontroversi ini kemudian diselesaikan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma.
“Bhinneka Tunggal Ika; yang berbeda-beda itu sebetulnya Satu, karena Tan Hana Dharma Mangrwa; tidak ada kebenaran yang terbelah. Kalau sudah benar, pasti Satu. Kalau masih terbelah, belum satu, berarti belum benar,” jelas Gus Yahya.
Gus Yahya bilang, perbenturan di antara aspirasi yang berbeda bukan hanya terjadi di Majapahit saja, tetapi juga terjadi di tempat-tempat lain seperti di Kamboja dan Thailand, India, Cina, dan berbagai kawasan peradaban yang lain.
Namun gagasan tentang Bhinneka Tunggal Ika yang mempersatukan perbedaan itu justru lahir di Majapahit. Menurut Gus Yahya, hal tersebut karena menjadikan Majapahit sebagai kerajaan pertama di sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang menyatakan untuk menolak identitas agama bagi negara. Sebuah sikap yang tak pernah terjadi sebelumnya.
“Kalau kita lihat kerajaan-kerajaan lain sepanjang sejarah, semuanya mengadopsi satu identitas agama tertentu. Tetapi Majapahit mengatakan, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Sekali lagi, perlu diingat bahwa gagasan ini lahir di Majapahit,” katanya.
Gus Yahya yakin, lingkungan budaya Majapahit yang memungkinkan bagi lahirnya gagasan tentang Bhinneka Tunggal Ika itu pasti tak lepas dari warisan Sriwijaya yang begitu dalam. Karena antara Sriwijaya dan Majapahit nyaris menjadi satu kontinuitas apabila dilihat dari dinamika kultural dan peradabannya.
“Kita dihadapkan sebuah tampilan dari satu potensi peradaban besar luar biasa yang pasti akan berguna apabila kita kapitalisasi sebagai satu strategi untuk membangun kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik ini,” katanya.
“Karena sudah ada dalam catatan sejarah itu bahwa masyarakat kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik sebetulnya dulu pernah mengalami satu kesatuan peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai toleransi dan harmoni. Warisan peradaban semacam ini pasti tidak bisa hilang begitu saja. Pasti akan menjadi jejak naluriah bagi masyarakatnya,” pungkas Gus Yahya.
Pewarta: Aru Lego Triono