KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) saat mengisi haul Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Kamis (21/09/2023). (tangkapan layar GusMus Channel)
Rembang, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3iA) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyampaikan permintaan khusus pada keturunan orang alim.
"Saya tidak punya kepentingan apa-apa, ingin cucunya orang alim itu juga alim. Kalau tidak mau ya terserah. Ikut takdirnya saja," katanya saat haul Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Kamis (21/09/2023).
Gus Baha mengatakan jika dirinya suka membaca dan mengkaji kitab para ulama, termasuk ulama dari Indonesia seperti KH Muhammad Hasyim Asy'ari dan KH Bisri Mustofa.
Khusus karya KH Hasyim Asy'ari, Gus Baha memiliki rutinan ngaji sorogan bersama cucu-cucu KH Hasyim Asy'ari yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Hal tersebut dikatakannya
"Saya ini pengajar kitab Ahlussunah wal Jamaah karyanya KH Hasyim Asy'ari, yang ngaji cucu-cucunya. Sistem ngajinya sorogan. Sudah berlangsung bertahun-tahun. Jadi kulo (saya) benar-benar mempertahankan akidah Ahlussunah wal Jamaah," jelasnya.
Baginya, cucu-cucu tokoh besar seperti KH Bisri Mustofa dan KH Hasyim Asy'ari harus mau mengaji dan tidak terlena dengan kebesaran pendahulunya.
Dalam pandangannya, ulama Jawa seperti KH Bisri Mustofa dan KH Hasyim Asy'ari terbilang unik. Karena punya kemampuan seni mengelola kata dari bahasa Arab ke bahasa Jawa sehingga mudah dipahami.
Ia juga menyampaikan pesan tersebut ke cucu Kiai Bisri juga, biar setelah Kiai Bisri sukses membuat tafsir Al-Ibriz, cucu-cucunya harus tahu, yang belum disempurnakan itu bagian apa.
"Jangan sampai sudah terlanjur dihormati orang karena cucu orang besar ternyata tidak mau belajar. Bagi saya dan orang banyak ini masalah," jelas Rais Syuriyah PBNU ini.
Gus Baha mengatakan, jika cucu-cucu dari Kiai Bisri ingin mempelajari kitab Al-Ibriz bersamanya maka ia akan menunjukkan berbagai hal yang belum diketahui terkait kitab tafsir berbahasa Jawa tersebut.
Kitab tafsir Al-Ibriz li Ma’rifat Al-Qur’an al-‘Aziz secara umum (ijmali) menggunakan metode bi ar-ra’y. Ditulis selama kurun 6 tahun antara 1954 sampai 1960. Memiliki corak penafsiran kombinasi antara qiraat, fiqih, dan tasawuf. Di samping itu, digunakan pula huruf Arab-Pegon dan bahasa Jawa dengan langgam dan genre “Pantura”.
Secara sistematis, tafsir Al-Ibriz cenderung literal tidak mengadakan perbandingan antar-pendapat ulama-ulama tafsir otoritatif. Tafsir Al-Ibriz juga menggunakan metode tahlili, karena dilakukan secara referensial mulai dari surat Al-Fatihah hingga An-Nas.
Lebih jauh, Gus Baha menegaskan bahwa dalam kehidupan penting adanya orang yang suka mengaji dan belajar. Tidak semuanya ikut bagian rapat dan mengambil kebijakan. Sudah ada porsinya masing-masing agar tatanan sosial dan budaya tetap berjalan.
"Saya bagian ngaji, jadi jarang ikut rapat. Ada bagiannya masing-masing. Logika sederhananya, ketika petani pergi menanam padi di sawah maka ia sudah ikut program ketahanan pangan. Meskipun dia tidak ikut rapat bersama pengambil kebijakan. Kalau rapat semua, nanti repot," tandasnya.