Hari PRT Internasional, Komnas Perempuan Dorong RUU PPRT Segera Disahkan
Jumat, 16 Juni 2023 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pada setiap tanggal 16 Juni, warga dunia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional atau International Domestic Workers Day. Peringatan ini pertama kali dilakukan pada 2011 sebagai penanda telah disahkannya Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 189 tentang Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga.
Pada peringatan Hari PRT Internasional, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kembali menyuarakan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera melakukan pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Baca Juga
Muktamar NU Desak Pengesahan RUU PPRT
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan, RUU PPRT telah digagas sejak hampir 19 tahun lalu, tetapi hingga kini belum juga disahkan.
Namun, Veryanto mengajak semua pihak untuk tetap optimis karena pada awal 2023, Presiden Joko Widodo telah mendesak DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
"Harapan kami di tahun 2023 RUU PPRT bisa disahkan," kata Veryanto dalam webinar Peringatan Hari PRT Internasional disiarkan langsung melalui Youtube Komnas Perempuan, dikutip pada Jumat (16/6/2023).
Ia menegaskan, RUU PPRT ini harus segera disahkan karena merupakan suatu penghormatan terhadap PRT sebagai orang yang bekerja, sebagaimana para pekerja yang lain.
"Kalau hari ini masih banyak orang atau masyarakat yang menyebutkan bahwa PRT itu sebagai pembantu atau asisten, sebaiknya mari kita ubah sebutan tersebut dengan menyebut mereka sebagai PRT untuk menunjukkan penghormatan dan posisi yang setara," kata Veryanto.
Ia berharap, dukungan terhadap segera disahkannya RUU PPRT ini terus meluas dan bisa dilakukan oleh banyak pihak. "Harapan utama kita adalah ketika RUU PPRT disahkan maka PRT terlindungi, pemberi kerja juga terjamin," kata Veryanto.
Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Kepresidenan Prita Laura mengaku terlibat dalam proses RUU PPRT sejak 19 tahun lalu. Dalam prosesnya, terjadi perdebatan di antara para politisi mengenai urgensi dari RUU PPRT ini. Sebab menurut para politisi itu, kata Prita, segala macam bentuk perlindungan sudah diatur dalam peraturan atau regulasi yang lain.
Tetapi menurut Prita, RUU PPRT sangat perlu untuk segera dibahas dan disahkan. Sebab secara substansi, RUU ini bukan hanya sekadar melindungi para PRT tetapi juga sebagai sebuah pengakuan terhadap profesi.
"PRT adalah sebuah profesi yang harus dihargai dan harus ada aturannya. Dalam proses memperjuangkan (RUU) ini, kami bertemu banyak PRT, mendengar banyak cerita, dan kami tidak menyangka bahwa ternyata sebegitu menyedihkannya nasib mereka. Benar-benar tidak ada perlindungan," tutur Prita.
Sementara di luar negeri, tambah Prita, masyarakat dan pemerintah Indonesia selalu saja teriak-teriak atau tak terima apabila ada pekerja migran Indonesia yang tidak dilindungi di luar negeri atau di negara penempatan. Padahal, di rumahnya sendiri, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki perlindungan terhadap pekerja rumah tangga.
Prita mengatakan, RUU ini memang tidak memberikan ekonomi yang besar. Inilah yang kemungkinan besar menjadi faktor penghambat RUU PPRT tak juga disahkan sampai 19 tahun lamanya.
"Tapi di sinilah (melalui RUU PPRT) kita harus memberikan suara kepada mereka yang voiceless, mereka yang sulit untuk bersuara. Kita perlu perjuangkan bersama," ungkap Prita.
Komnas Perempuan mencatat bahwa PRT paling banyak adalah perempuan yang secara khusus memiliki kerentanan untuk menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Pengakuan dan pelindungan terhadap PRT dari pemerintah juga belum maksimal.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2005-2022 mengidentifikasikan adanya 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan juga menerima pengaduan langsung sebanyak 29 kasus PRT periode tahun 2017-2022 dengan bentuk kekerasan yang beragam seperti kekerasan fisik hingga gaji yang tidak dibayar.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad