Hari Tani Nasional: Rakyat Tani Habis Manis Sepah Dibuang
Jumat, 24 September 2021 | 10:15 WIB
Dikatakan Maksum, rakyat tani Indonesia sudah sangat lama menanti penuh harap dalam kekhawatiran sekaligus bersama dengan kesabarannya yang terus saja menjadi tumbal pembangunan.
Jakarta, NU Online
Setiap 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Hal ini berangkat dari pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang diteken Presiden Soekarno, pada 24 September 1960. Tanggal itu sebagai lambang kemenangan rakyat tani di Indonesia.
Guru Besar Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Mochammad Maksum Machfoedz menjelaskan bahwa sepeninggal Presiden Soekarno, perundangan yang dapat menyejahterakan kaum tani itu justru dipelintir oleh sebagian elite demi kepentingan syahwat masing-masing.
Hal itu mengakibatkan UU Pokok Agraria yang dicanangkan Bung Karno seperti harapan palsu. Selama berpuluh-puluh tahun, harapan palsu itu dialami rakyat tani miskin, bahkan disusul aneka perundangan yang lain.
“Rakyat tani habis manis sepah dibuang. Kalau pemilu dirayu dan dimanjakan, tetapi kalau sudah jadi (rakyat tani) dilupakan. Bisa kita inventarisir aneka kebijakan harapan palsu mutakhir itu,” ungkap Prof Maksum kepada NU Online, Jumat (24/9/2021) siang.
Ia menyebutkan beberapa perundangan yang disebutnya sebagai harapan palsu bagi rakyat tani miskin. Di antaranya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
“Perpres itu penganekaragaman yang kosong melompong, subsidi yang gembosi, inpres beras yang bodong,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Kemudian ada UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dinilai komersial. Lalu UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Perundangan ini, kata Maksum, tidak pernah memberikan efek apa pun kepada rakyat tani miskin.
“Bahkan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Petani yang nggak ngefek, Kartu Tani yang ruwet, sampai dengan subsidi pupuk yang hari ini semakin ramping,” tegasnya.
Menurutnya, selama ini pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh memperhatikan urusan rakyat tani kecuali sekadar ceblang-ceblung kebijakan yang selalu berwajah aneka warna dan selalu saja menimbulkan kontroversial. Bahkan, sarat dengan politisasi dan syahwat ekonomi-politik jangka pendek.
Namun setelah sekian dekade tidak ada berita besar yang menggembirakan bagi rakyat petani, kini muncul harapan baru bagi mereka. Sebab pada 29 Juli 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional.
“Hari ini muncul secercah harapan akan dimilikinya tuan besar, Badan Pangan Nasional yang akan powerfull mengendalikan dan mengoordinasikan apa pun urusan pangan nasional dalam satu tangan. Sudah tentu ini harapan besar rakyat tani miskin yang harus jadi perhatian saksama elite bangsa,” katanya.
Dikatakan Maksum, rakyat tani Indonesia sudah sangat lama menanti penuh harap dalam kekhawatiran sekaligus bersama dengan kesabarannya yang terus saja menjadi tumbal pembangunan. Mereka selama ini harus menahan diri dan sudi memperpanjang keikhlasan untuk tetap miskin, bahkan semakin miskin demi pembangunan nasional.
“Petani sudah terlalu kenyang dengan derita. Jangan sampai perpres (Badan Pangan Nasional) yang didambakan rakyat tani miskin ini justru memperpanjang daftar harapan palsu dan untuk kesekian kalinya tidak nendhang (berpengaruh) bagi kesejahteraan mereka,” kata Maksum.
Kaum tani, menurutnya, sungguh bermimpi agar bisa mengulang kesuksesan pada 61 tahun lalu saat Bung Karno pertama kali menerbitkan UU Pokok Agraria tepat pada 24 September 1960. Kini, Perpres Badan Pangan Nasional itu menjadi harapan besar bagi rakyat tani.
“Mereka sungguh bermimpi perpres itu melambangkan kembali kemenangan rakyat tani, sehingga merupakan hadiah dari Harlah ke-61 Hari Tani Indonesia, 24 September 2021,” pungkas Maksum.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad