ICJR Dorong Perbaikan Menyeluruh dalam RUU Penyesuaian Pidana
Kamis, 27 November 2025 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti sejumlah persoalan fundamental dalam RUU Penyesuaian Pidana saat memberikan masukan kepada Komisi III DPR.
Peneliti ICJR Ajeng Gandini Kamilah menjelaskan bahwa proses harmonisasi aturan pidana lintas regulasi wajib dilakukan secara serius karena berhubungan langsung dengan keberlakuan KUHP 2023.
Dalam paparannya, Ajeng menegaskan bahwa pekerjaan penyesuaian pidana bukan hanya dilakukan oleh ICJR, tetapi merupakan hasil kolaborasi bersama lembaga lain seperti LEIP dan IJRS.
“Kami memberikan masukan ini bersama teman-teman dari LEIP dan IJRS,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Ia juga menyampaikan bahwa pihaknya telah mengumpulkan dan memverifikasi ribuan regulasi sejak beberapa tahun terakhir sebagai dasar penyesuaian. Menurut dia, terdapat sekitar 140 undang-undang yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan KUHP yang akan berlaku penuh.
Ia memaparkan bahwa di dalam 140 undang-undang itu terdapat berbagai persoalan, mulai dari masih adanya ketentuan minimum khusus, keberadaan pidana kurungan yang sudah tidak dikenal lagi dalam KUHP baru, hingga pidana denda yang kategorisasinya belum mengikuti sistem KUHP.
Ajeng menjelaskan bahwa sebagian usulan penyesuaian awalnya ingin dimasukkan ke dalam batang tubuh, tetapi setelah pembahasan dengan pemerintah akhirnya hanya bisa dimuat di lampiran RUU. “Ini diakomodirnya hanya bisa dalam lampiran,” jelasnya.
Selain regulasi sektoral, ICJR juga menilai banyak ketidaksesuaian dalam KUHP 2023 itu sendiri. Ajeng menyebut bahwa sejumlah pasal masih memiliki kesalahan rujukan, kekeliruan substansi, atau belum sepenuhnya mencerminkan pembahasan yang pernah berlangsung di DPR.
Baca Juga
Rasa Syukur Seorang Narapidana
“Kita melihat draf RUU Penyesuaian Pidana ada sekitar 36 hal yang substansial,” ujarnya.
Namun, ia menambahkan bahwa sebagian pasal bermasalah yang sebelumnya diidentifikasi masyarakat sipil belum seluruhnya diadopsi oleh pemerintah.
Ajeng menyoroti pula bahwa mekanisme pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP perlu diperbaiki karena ketentuan yang ada justru membuka ruang pemidanaan terhadap pengurus tanpa kejelasan batasan.
Selain itu, ia memberi perhatian pada aturan restitusi bagi korban, yang menurutnya dapat terhambat apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau seumur hidup.
Ia menjelaskan bahwa restitusi tidak dapat dijalankan karena merupakan pidana tambahan, sedangkan KUHP melarang pemberian pidana tambahan kepada terpidana yang dijatuhi pidana maksimal.
“Ini akan menjadi obstacle karena tidak akan bisa terimplementasi restitusi dalam KUHP ketika pelakunya dituntut atau diponis seumur hidup atau mati,” ujarnya.
Dalam aspek lain, ICJR juga menemukan masalah besar pada peraturan daerah. Ajeng menyebut bahwa pihaknya memeriksa lebih dari 20 ribu perda dan mendapati banyak aturan yang tumpang tindih dengan KUHP maupun melampaui kewenangan pengaturan pidana sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Ajeng, masih banyak perda yang memuat pidana secara kumulatif, padahal seharusnya hanya boleh berbentuk alternatif. Ia menyebut terdapat ratusan perda yang masih mengatur zina, kohabitasi, atau privasi seksual lain yang sejatinya sudah diatur dalam KUHP.
“Banyak Perda-Perda yang masih sifatnya kumulatif,” kata Ajeng.
Ia menekankan bahwa harmonisasi perda harus menjadi bagian penting dari pembahasan RUU Penyesuaian Pidana agar tidak terjadi duplikasi atau kriminalisasi berlebih di daerah.
ICJR juga mendorong agar ketentuan kurungan dalam perda dihapus, denda disesuaikan dengan kategori dalam KUHP, dan seluruh daerah mengacu pada instrumen yang sama ketika menyusun norma pidana.
Ajeng kemudian memberikan catatan mengenai sejumlah pasal terkait pidana mati yang dinilai masih membingungkan dalam penyusunan pemerintah. Ia menegaskan pentingnya penjelasan mengenai frasa sikap dan perbuatan terpuji sebagai dasar evaluasi terhadap terpidana mati.
“Yang dimaksud dengan sikap dan perbuatan terpuji itu adalah kondisi narapidana yang telah menunjukkan peningkatan kualitas kepribadian,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa indikator tersebut meliputi perilaku baik, mengikuti program pembinaan, dan menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Ajeng menegaskan bahwa seluruh masukan yang disampaikan ICJR bertujuan memastikan bahwa RUU Penyesuaian Pidana tidak berhenti pada penyesuaian administratif, melainkan mampu memperbaiki struktur hukum pidana secara menyeluruh.
Ia menyebut bahwa kesalahan kecil dalam rumusan pasal dapat menimbulkan implikasi serius dalam penegakan hukum, terutama bagi korban dan pelaku yang berada dalam proses peradilan.