Jakarta, NU Online
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi, tidak ada kenaikan yang berarti, berada di kisaran lima persen. Tentu melihat hal tersebut, pemerintah menginginkan peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini, bagi pemerintah, perlu dilakukan melalui peningkatan investasi.
Persoalannya, investasi di Indonesia tidak berjalan mulus mengingat ada sederetan kendala yang cukup menghambatnya. Data World Economic Forum menunjukkan bahwa korupsi menjadi hal yang paling menahan laju tersebut. Anehnya, pemerintah justru menekankan pada sektor ketenagakerjaan yang justru berada pada urutan ketiga belas.
"Di sini, ada oligarki yang pengen menumpang pada Omnibus Law," kata Irham Ali Saifuddin, Programme Officer pada Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Jakarta, kepada NU Online pada Kamis (20/2).
Baca:
Selain korupsi, hal lain yang menghambat investasi adalah birokrasi yang tidak efisien, akses keuangan, hingga infrastruktur yang kurang memadai. Kendala lainnya adalah stabilitas kebijakan, instabilitas pemerintah, masalah rasio perpajakan, regulasi pekerjaan.
Padahal, menurut Irham, penanganan terhadap persoalan-persoalan yang paling menghambat, sebagaimana disebutkan di atas, adalah langkah cepat untuk meningkatkan laju investasi lebih efisien.
Irham sepakat bahwa investasi memang dibutuhkan oleh bangsa ini. Pasalnya, investasi meningkatkan satu sampai 1,2 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya. Masalahnya, angkatan kerja baru di Indonesia dibutuhkan sekitar dua sampai tiga juta. "Di situ ada gape lapangan pekerjaan," ujarnya.
Lebih dari 2,8 juta orang angkatan kerja baru berada di jalur pekerjaan informal. Maksudnya, mereka tidak memiliki perjanjian kerja, tidak ada jaminan sosial, dan lainnya. Sektor formal penting untuk memastikan kondisi para tenaga kerja tersebut layak. Artinya, haknya terpenuhi.
Namun, dalam Omnibus Law ini, pekerja direncanakan akan lebih mudah direkrut, tetapi sekaligus juga mudah untuk diberhentikan. RUU yang dirancang oleh pemerintah itu juga tidak mengenal pekerja tetap sebagaimana terdapat UU yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003.
Para pekerja saat ini, terang Irham, seperti outsourcing sehingga bagi mereka tidak mengenal kenaikan upah karena berhenti bekerja, mereka akan direset, mulai dari nol lagi. "Para pekerja seolah di-reset mulai dari nol lagi," katanya.
Hal tersebut akan sangat merguikan bagi semua pihakk, terutama pekerja, tidak hanya kita di hari ini, tetapi juga bagi orang setelahnya nanti yang akan terkena dampak penerapan UU tersebut. "Kalau dibikin fleksibel, yaitu hanya akan mengabdi pada kapital," pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan