Nasional

Imam Budiman: Pengajar Madrasah Aktif, Penyair Resah Produktif

Senin, 6 Oktober 2025 | 13:30 WIB

Imam Budiman: Pengajar Madrasah Aktif, Penyair Resah Produktif

Imam Budiman, Pengajar di Madrasah Darus-Sunnah, Tangerang Selatan. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Wa laa tamutunna illa wa antum katibun.”
“Janganlah kalian mati kecuali kalian menjadi penulis.”


Kutipan di atas merupakan petikan maqalah dari KH Ali Mustofa Ya’qub, Pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Kata-kata itulah yang mengingatkan seorang Imam Budiman untuk terus berkarya dan berkarya.


Di sela aktivitasnya yang padat sebagai pengajar di Madrasah Darus-Sunnah, Tangerang Selatan, ia meluangkan sejumlah waktunya untuk menuangkan beragam keresahan di benaknya dalam bentuk puisi. Karyanya tersebar dalam berbagai media cetak dan elektronik, lokal dan nasional. Bahkan, salah satu karyanya pernah terpilih dalam pameran di Taman Ismail Marzuki pada Agustus 2025 lalu.


“Pesan itu selalu menjadi alarm ketika dilanda rasa suntuk, mengingat betapa terbatasnya usia dan waktu yang kita miliki,” kata pengajar balaghah di Madrasah Aliyah Darus-Sunnah itu kepada NU Online pada Jumat (3/10/2025).


Menulis berarti menghadirkan kebermanfaatan bagi orang lain. Retorika santri tidak harus ditunjukkan melalui mimbar ceramah saja, melainkan bisa dituangkan dalam bentuk tulisan untuk membagikan pelajaran bagi para pembaca. Dan Imam Budiman menghadirkannya melalui puisi.


“Beliau senantiasa mewanti-wanti agar santri tidak hanya pandai beretorika di atas mimbar saja, melainkan memperluas pesan dakwah dengan kecakapan menulis,” katanya.


Pilihannya pada puisi tentu bukan tanpa dasar. Banyak rekanannya yang menulis opini, esai, terlebih karya ilmiah dalam bidang hadits mengingat subjek tersebut yang menjadi takhassus studinya.


“Saya memilih untuk menulis sastra, sebab di pesantren kami sendiri, belum banyak yang menekuninya. Mayoritas santri menulis artikel ilmiah seputar kajian Islam, terutama hadis,” ujarnya.


Kegemarannya pada puisi bermula dari bilik pesantren. Ia rutin membaca sejumlah buku puisi di tengah studinya dalam bidang agama itu pada masa-masa sekolah menengah. Bahkan, ia melibatkan diri dalam komunitas menulis di pesantrennya, yaitu Forum Pena Pesantren.


“Dari sanalah, saya menjalani awal proses kreatif dengan aktif membaca, menulis, dan berdiskusi,” jelas pria yang menamatkan studi sarjananya di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Hal demikian berlanjut saat dirinya studi di Ciputat. Di tengah padatnya jadwal kuliah di kampus dan mengaji di Pesantren Darus-Sunnah, ia mengaktifkan diri dalam komunitas sastra.


“Puncaknya, semasa kuliah saya aktif di komunitas Rusabesi yang menambah ‘bahan bakar’ saya untuk menulis karya, terutama puisi,” katanya.

Lebih dari satu dekade Imam menulis puisi. Dan ia terus menuangkan ragam gagasan serta keresahannya pada puisi. Ia mengaku tidak memiliki alasan pasti mengapa ia terus menulis puisi.


“Saya pikir, boleh jadi ini terdengar klise, barangkali karena puisi menjadi medium paling nyaman bagi saya untuk ‘pulang’ ke diri sendiri. Menikmati hening secara kondisi, namun ramai di dalam kepala,” katanya.


Selain itu, puisi bagi Imam bukan sekadar media yang dapat menampung segala keresahannya, tetapi juga ‘ruang bermain’ yang lebih leluasa untuk mengeksplorasi segala hal yang bersifat personal. Ia tidak merasakan hal serupa dalam medium lainnya, seperti opini, esai, cerpen, novel terlebih karya tulis ilmiah. Hal tersebut karena terbatas pada aturan yang saklek.


“Dalam puisi, saya bisa saja menuliskan hal paling remeh di kehidupan sehari-hari hingga hal yang terkadang menuntut saya untuk melakukan riset lebih mendalam,” kata penulis buku kumpulan puisi berjudul Salik Dakaik: Mencari Anak dalam Kitab Suci (2023) itu.


Ia mengaku bahwa puisi-puisinya tidak terikat dengan bentuk atau gaya tertentu. Hal ini dilandasi sebagai caranya untuk terus belajar dan mengoreksi. Sebab, puisi bukanlah sebuah kesimpulan, melainkan perjalanan yang diharapkan dapat melahirkan pertanyaan baru bagi para pembaca.


“Puisi, bagi saya pribadi, tidak melulu memberikan kesimpulan, bahkan harapannya puisi-puisi yang saya tulis dapat mempertanyakan ulang, membiarkannya menjadi semacam ‘letupan baru’ di kepala pembaca, untuk hal-hal yang telah mapan dalam kehidupan,” kata pria kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur itu.


Keunikan

Seekor nyamuk hanyalah nyamuk di mata awam. Namun ialah amsal yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 26. Betapa Allah menunjukkan kekuasaan atas ciptaan-Nya. Inilah yang ditangkap Imam Budiman hingga lahir puisinya yang membahas perihal binatang dalam ayat tersebut.


“Singkatnya, hewan itu yang rasanya tak banyak dibahas dalam perbincangan hari ini untuk melihat bagaimana keunikan ciptaan Tuhan. Padahal, dari seekor nyamuk kita bisa mengambil pelajaran bagaimana kaitan antara sains dan iman,” katanya.


Ia menulis hal-hal yang tak dianggap puitis menjadi sebuah puisi yang sarat akan kedalaman makna. Melalui puisi itu, ia berupaya untuk mempertanyakan berbagai macam hal yang dianggap mapan bagi sebagian orang. Dalam konteks mata pelajaran pesantren, misalnya, sebagian orang—dalam hal ini kiai dan santri—menganggap mata pelajaran dan kaidah-kaidah itu sebagai hal yang rigid dan tak boleh diotak-atik.


“Saya tentu resah dengan hal ini. Maka, saya menawarkan pembacaan yang lain, bahwa kaidah-kaidah itu kemudian dapat diolah menjadi sesuatu yang memiliki nalar kreatif. Saya pun mencoba eksperimen itu dalam buku Salik Dakaik yang terbit 2 tahun lalu,” kata alumnus Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan itu.


Meskipun sudah mencetak dua buku puisi dan puluhan puisi yang terbit di berbagai media cetak dan elektronik, Imam mengaku tidaklah produktif. Hal ini disebabkan kuantitas karyanya yang tidak sama dengan penyair lainnya, meskipun pengakuannya itu masih diliputi kemungkinan.


“Barangkali, itu akumulasi selama 15 tahun perjalanan saya menulis. Sebetulnya, saya termasuk tipikal slow-writing. Jika dibandingkan penulis sebaya lain, saya mungkin tertinggal jauh. Terlebih, belakangan ini saya merasa kurang disiplin,” ujarnya.


Ia mengaku selalu ada keinginan untuk lebih tekun dan mampu menyeimbangkan antara rutinitas pekerjaan dan menulis, antara ruang sosial dan personal.

“Sebab menulis, bagi saya, artinya mengurung diri tanpa distraksi di kamar kerja selama berjam-jam sendirian,” kata penulis buku berjudul Pelajaran Sederhana Mencintai Buku Fiksi (2021) itu.


Sebagai pengajar dan penyair, ia tidak meninggalkan aktivitas dan karier akademiknya. Sebab, hidup adalah perjalanan belajar sehingga membuatnya berkuliah lagi secara lebih khusus pada bidang sastra, yakni magister sastra Arab di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


“Saya tentu berupaya menjalankan peran pendidik yang profesional dalam mengajar. Mengajarkan teori semantik Arab, memberikan latihan dalam bentuk praktik, dan membuka ruang diskusi kepada para santri,” kata pria yang pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Adapun dunia sastra, dalam hal ini sastra Indonesia, merupakan hal lain yang justru menambah pengalaman dan wawasan kontekstual. Meski agaknya terlihat berbeda, tetapi sejatinya sektor-sektor tersebut masih saling bertautan.


“Di sekolah saya berperan sebagai pengajar dan di luar itu sebagai praktisi. Justru menurut saya, hal ini menjadi nilai tambah,” pungkasnya.