Nasional

Imparsial: Indonesia Butuh Pemisahan Regulasi Keamanan dan Pertahanan Siber

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 17:30 WIB

Imparsial: Indonesia Butuh Pemisahan Regulasi Keamanan dan Pertahanan Siber

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra dalam diskusi di Depok, Jumat (24/10/2025). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menegaskan pentingnya pemisahan regulasi antara keamanan siber dan pertahanan siber di Indonesia. 


Menurutnya, tanpa pemisahan yang tegas, kebijakan di bidang siber berisiko mengaburkan batas antara urusan sipil dan militer. Hal ini pada akhirnya bisa melemahkan prinsip kendali sipil atas sektor pertahanan.

 

"Isu keamanan siber ini kompleks. Tapi satu hal yang harus dijaga: jangan sampai urusan keamanan digital masyarakat diserahkan pada logika pertahanan militer,” ujarnya dalam diskusi publik di Universitas Indonesia, Depok, Jumat (24/10/2025).


Ardi menilai, rancangan kebijakan EOKKS yang tengah dibahas pemerintah masih menampilkan pendekatan yang terlalu berorientasi pada keamanan negara dan belum menempatkan perlindungan hak sipil sebagai prioritas utama.

 

"Pendekatan yang digunakan masih state-centric, padahal keamanan digital masyarakat, perlindungan data, dan hak berekspresi adalah bagian dari keamanan nasional itu sendiri,” jelasnya.

 

Ia menegaskan, prinsip pemisahan fungsi perlu menjadi landasan dalam perumusan kebijakan siber agar lembaga pertahanan tidak masuk ke ruang sipil secara berlebihan.


"TNI punya peran dalam cyber defense, tapi untuk cyber security, itu wilayah sipil. Kalau dua-duanya dicampur, maka pengawasan terhadap masyarakat bisa dilegalkan atas nama pertahanan,” tegas Ardi.


Ardi juga menyoroti lemahnya transparansi dalam proses pembahasan rancangan kebijakan tersebut. Ia menilai publik, akademisi, dan masyarakat sipil belum dilibatkan secara bermakna dalam perumusan aturan yang berpotensi besar mengatur kehidupan digital warga negara.


"Kebijakan seperti ini tidak boleh disusun di ruang tertutup. Karena yang akan terdampak langsung adalah masyarakat. Harus ada mekanisme partisipasi publik yang jelas,” ujarnya.


Menurutnya, proses kebijakan yang terbuka tidak hanya memperkuat legitimasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa prinsip hak asasi manusia tetap menjadi rujukan utama dalam setiap kebijakan keamanan siber.

 

Ardi mengingatkan bahwa keamanan nasional dan kebebasan warga bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Keduanya bisa berjalan beriringan jika dirancang dengan tata kelola yang demokratis.

 

“Jangan sampai atas nama keamanan, negara justru memperluas ruang pengawasan terhadap warga. Keamanan yang baik justru harus melindungi kebebasan berekspresi dan hak digital warga negara,” tandasnya.

 

Ardi menegaskan bahwa arah kebijakan siber Indonesia harus berpijak pada prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi akuntabilitas dan kontrol sipil.

 

“Keamanan digital bukan sekadar urusan teknis. Ini menyangkut masa depan demokrasi kita di ruang maya,” pungkasnya.