Jombang, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur KH Salahuddin Wahid menegaskan, bahwa segenap elemen bangsa tidak perlu membenturkan keislaman dengan keindonesiaan. Karena hal itu akan berdampak serius terhadap keberlangsungan bangsa itu sendiri, dan bahkan mengancam keberadaan negara.
"Jadi kalau ingin Indonesia bertahan sampai kapanpun, maka antara Islam dan Indonesia tidak boleh bertabrakan," katanya saat memberikan sambutannya pada Haul ke-10 Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Sabtu (21/12) malam.
Negara Indonesia tidak boleh seperti negara-negara di Timur Tengah yang seringkali terjadi konflik berkepanjangan antarbangsanya sendiri hingga keutuhan negaranya pun terancam. Seperti di Libia, Yaman, Irak, dan sebagainya. Bahkan beberapa negara itu secara de facto sudah tidak merupakan negara.
"Kenapa terjadi seperti itu? menurut penulis dikatakan bahwa identitas kebangsaan mereka tidak di atas identitas agama, mazhab agama atau etnis, jadi tidak pernah terbentuk namanya bangsa yang betul-betul merasa suatu bangsa dan merasa yang bisa bertahan menghadapi gelombang sejarah dunia yang memang luar biasa," jelasnya.
Di Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarahnya sudah bisa dikatakan cukup berhasil mengonsep nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan dengan pola yang seimbang dan tidak bertentangan. Meski dalam perkembangannya masih ada sebagian kelompok kecil mencoba membenturkan kedua nilai tersebut.
"Kita sudah berhasil memadukan keislaman dan keindonesiaan. Ini yang harus kita jaga. Jadi idnetitas kebangsaann dan identitas keagamaan harus berjalan seiring," ujar adik kandung Gus Dur itu.
Kiai yang kerap disapa Gus Sholah ini juga menyinggung sebagian kelompok yang kadang masih memperdebatkan perlunya mengislamkan Indonesia, dan sebagian kelompok yang lain menilai mengindonesiakan Islam lebih penting.
Perdebatan ini harusnya telah selesai sejak puluhan tahun silam pada saat perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Karena proses keduanya otomatis dilakukan secara bersama-sama. Terbukti di undang-undang tersebut menurut pandangannya, antara nilai-nilai keagamaan dan keindonesiaan sudah terpadu. Bahkan saling menguatkan.
"Lho yang pertama mengislamkan Indonesia waktu itu Nusantara namanya, waktu itu kita sudah jalankan, dan sudah terjadi proses mengindonesiakan Islam, iya. Undang-undang yang kita punya itu jelas ada paduan atara Islam dan Indonesia, itu merupakan capaian yang luar biasa, kita tidak perlu lagi berdebat apakah mengindonesiakan Islam atau mengislamkan Indonesia," ungkapnya.
Di samping itu, lanjutnya, ada kelompok lain yang menegaskan bahwa dirinya adalah warga Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang berbangsa Indonesia. Hal ini sebetulnya juga tidak perlu dikemukakan atau bahkan diperdebatkan, karena Islam dan Indonesia bukan dua hal yang harus dipilih salah satunya, melainkan keduanya sudah menyatu dan tidak bisa dipisahkan.
"Ini tidak perlu menurut saya, kita tidak perlu memilih antara Islam dan Indonesia. Jadi Islam dan Indonesia tidak boleh cerai harus jadi satu," tuturnya.
Untuk itu ia mengajak kepada elemen bangsa untuk selalu menguatkan nilai-nilai keagamaan beserta keindonesiaan. Mereka perlu menanamkan kedua nilai itu secara utuh, tidak memisahkan antarkeduanya. "Dan itu menjadi tugas kita bersama," pungkasnya.
Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Muhammad Faizin