Nasional

Indonesia Surplus Perguruan Tinggi, Defisit Kualitas?

Selasa, 18 November 2025 | 15:00 WIB

Indonesia Surplus Perguruan Tinggi, Defisit Kualitas?

Ilustrasi perguruan tinggi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak kedua di dunia. Data Statista (2023) menunjukkan Indonesia memiliki 3.277 perguruan tinggi (PT), berada tepat di bawah India sebanyak 5.349 PT. Sementara, Amerika menempati posisi ketiga dengan jumlah 3.180 universitas.


Namun di sisi lain, besarnya jumlah perguruan tinggi di Indonesia tersebut memunculkan pertanyaan sejumlah pihak mengenai sejauh mana kuantitas itu benar-benar berbanding lurus dengan kualitas.


“Dalam kasus Indonesia, jumlah perguruan tinggi memang tergolong banyak dan overload,” kata M Faishal Aminudin Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) kepada NU Online, Senin (17/11/2025).


Ia menjelaskan bahwa dari sisi kualitas, perguruan tinggi terbaik baik versi lembaga perankingan masih didominasi oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berada di Pulau Jawa.


“Dari sisi akses, masih banyak blank spot di Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara di mana masyarakatnya yang ingin melanjutkan kuliah belum bisa dijangkau oleh perguruan tinggi. Mereka juga tidak memiliki cukup biaya untuk pergi ke tempat lain,” kata Faishal.


Pemerintah, kata Faishal, sudah memiliki standar, indikator kinerja dan sebagainya yang menjadi acuan bagi perguruan tinggi. Namun masalah muncul pada tata kelola, terutama karena perguruan tinggi diperlakukan layaknya instansi pemerintahan.


“Bukan hanya soal pertanggungjawaban anggaran keuangan saja melainkan sampai menciptakan belenggu administratif tersendiri bagi sivitas akademika. Sebaiknya, pemerintah hanya bertanggungjawab dalam menetapkan standar mutu saja, bukan pada aspek teknis implementasinya di perguruan tinggi karena itu menjadi bagian otonomi mereka,” tegasnya.


Gelombang Pendirian Perguruan Tinggi

Faishal menyebut bahwa gelombang pendirian perguruan tinggi terjadi secara masif setelah 1998. Sebelum era tersebut, akses ke PTN maupun PTKIN masih sangat terbatas karena seluruh pendanaannya ditanggung negara, sehingga proses masuknya pun disaring melalui seleksi yang ketat.


“Di saat yang sama, negara memberikan keleluasaan pada PTS untuk mengembangkan diri dengan menarik minat masyarakat yang tidak masuk diterima PTN untuk studi di tempat mereka. Banyak PTS waktu itu bisa berjaya, memiliki reputasi yang tidak jauh berbeda dengan PTN. Di berbagai kota besar di luar Jawa sudah banyak didirikan PTN kendatipun untuk PTS yang besar masih terkonsentrasi di Pulau Jawa,” ujarnya.


Melihat kondisi tersebut, Faishal menilai bahwa peningkatan mutu perguruan tinggi menjadi pekerjaan besar yang tidak bisa ditunda. Salah satu tantangan terbesar, terletak pada penguatan sumber daya manusia, khususnya ketersediaan dosen bergelar doktor, kondisi iklim riset, serta relevansi kurikulum dengan kebutuhan zaman.


“Model di Amerika Serikat, PTS memiliki kualitas yang jauh lebih bagus dibandingkan PTN. Negara memberikan hibah dalam skema riset kompetitif kepada mereka untuk meningkatkan kualitas riset. Sedangkan untuk operasional, mereka banyak mengambil dari dana hibah dari orang kaya, alumni dan korporasi dan hanya sedikit yang diambil dari pembayaran mahasiswa. Atau model Eropa Barat dimana jumlah perguruan tinggi tidak banyak dan hampir semua adalah PTN yang disokong penuh oleh dana publik pemerintah,” jelas Faishal.


Problem Iklim Akademik

Menurutnya, pemerintah melalui berbagai skema beasiswa sebenarnya telah memberikan banyak kesempatan bagi dosen untuk melanjutkan studi hingga jenjang doktor. Upaya ini dinilainya positif, meskipun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan nasional. Namun masalah muncul setelah para dosen bergelar doktor kembali ke kampus masing-masing.


“Kendala ada pada iklim akademik yang belum terbentuk. Banyak dosen justru harus menghabiskan waktu mencari pendapatan tambahan karena gaji yang kecil, kemudian di kampus terbebani urusan administratif tanpa henti, dan akses pendanaan riset masih sangat terbatas,” jelasnya.


Di sisi lain, Faishal menyoroti perlunya restrukturisasi kurikulum agar lebih fleksibel dan tidak membebani mahasiswa maupun dosen. Ia menilai jumlah satuan kredit semester (SKS) di jenjang sarjana saat ini terlalu banyak, sehingga kampus sering melakukan pengulangan atau redundansi mata kuliah hanya demi memenuhi persyaratan administratif.