Jelaskan Lima Kekayaan NU, Kiai Said: Politik dan Ekonomi Masih Tertinggal
Kamis, 21 Oktober 2021 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa karakter dan kepribadian santri telah meliputi bangsa Indonesia. NU, melalui para santri di banyak pesantren, telah berperan menciptakan kepribadian masyarakat yang ahli ibadah, religius, amanah, jujur, santun, serta berakhlakul karimah.
Hal tersebut tak lain karena NU memiliki banyak kekayaan. Kiai Said lantas menjelaskan lima kekayaan NU yang harus terus dijaga dan dipelihara.
Namun dua di antaranya yakni politik dan ekonomi, masih sangat jauh tertinggal. Kiai Said mengharapkan agar para pengurus beserta warga NU dapat mengembangkannya supaya NU benar-benar bisa menjadi organisasi kemasyarakatan yang kaya-raya.
Pertama, NU memiliki kekayaan sosial atau masyarakat. Para Nahdliyin di seantero negeri selalu bergantung kepada kiai. Kiai menjadi tokoh informal yang selalu dilibatkan dalam segala aktivitas masyarakat.
“Dari sejak nikah, selamatan hamil, lahir kasih nama aqiqah, sunat, nikah, sampai meninggal, pasti manggil kiai. Semua rujukannya kiai, bersandar pada kiai. Ini harus kita pelihara dan pegang erat-erat,” terang Kiai Said dalam Tasyakur Hari Santri 2021 di lantai 8 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Rabu (20/10) malam.
Kekayaan masyarakat itu terlihat ketika NU mengadakan acara-acara besar seperti peringatan hari lahir, istighosah dan shalawatan bersama. Puluhan ribu warga NU pasti akan berbondong-bondong hadir tanpa imbalan sepeser pun. Hal itu dilakukan atas dasar cinta kepada kiai.
Namun, menurut Kiai Said, saat ini ada pihak-pihak yang tidak senang dengan kekayaan NU ini. Dengan berbagai cara masyarakat dan kiai selalu dibentur-benturkan. Melalui media sosial, fitnah dan tuduhan dilontarkan kepada kiai agar masyarakat menjadi jauh.
“Itu semua dilontarkan untuk memisahkan kedekatan masyarakat dengan kiai. Ini kewajiban kita dan harus terus jaga. Kekayaan sosial ini sangat mahal yang tidak dipunyai kelompok lain,” tegas Kiai Said.
Kedua, NU memiliki kekayaan peradaban budaya. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah selalu merujuk kitab kuning ketika mencari solusi dari berbagai permasalahan keagamaan yang ada di masyarakat.
“Rujukan kita adalah kitab kuning para ulama. Setiap kita mencari hukum atau masalah, pasti bukanya kitab kuning. Dalam acara munas (musyawarah masional) di (forum) bahtsul masail, kita buka kitab para ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i dan Imam Nawawi. Ini kekayaan luar biasa. Kita harus bangga dan harus kita pelihara,” ujarnya.
“Bahtsul masail di munas membahas 15 pertanyaan dan saya sering menyaksikan sendiri bagaimana kalau kita bahtsul masail, dua hari selesai. Hukumnya cloning, hukum shalat Jumat di kantor, hukum bunga bank, keluarga berencana. Itu dua hari selesai,” tambah Kiai Said.
Ketiga, kekayaan simbol untuk syiar. Menurut Kiai Said, Hari Santri merupakan salah satu simbol syiar bagi NU. Simbol lain seperti mencium tangan kiai dan berjalan merunduk saat melewati orang tua.
“Kemudian tidak berani meletakkan Al-Qur’an sembarangan. Kita lewat masjid ada bedugnya, NU itu. Itulah kekayaan simbolik kita. Harus kita pelihara dan jaga,” tegas Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu.
Keempat, kekayaan politik. Kiai Said menegaskan para ulama sangat memahami politik sejak dulu. Hal ini terbukti ketika penjajah Belanda sangat kuat menguasai negeri ini, lalu para ulama dengan sangat cerdik menyelamatkan akidah masyarakat di desa melalui pesantren.
Mulanya, para ulama hidup di kota atau istana. Di antaranya Sunan Gunung Djati di Cirebon, Sultan Hasanuddin membangun Banten, Raden Fatah membangun Demak, dan Sunan Ampel membangun Surabaya.
“Dulu, ulama orang kota. Begitu penjajah sangat kuat, mereka khawatir kalau akhlak dan akidah masyarakat akan rusak, maka para ulama keluar dari kota dan meninggalkan perkotaan, hidup di desa-desa membangun pesantren,” katanya.
Kiai Said menerangkan bahwa bangunan pesantren itu memiliki pesan sangat kuat. Di samping sebagai tempat ibadah, kajian, renungan, dan tirakat, pesantren merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki otoritas politik tersendiri.
“Jadi ada kerajaan Tebuireng, kerajaan Denanyar, kerajaan Tambakberas, dan kerajaan Lirboyo. Dalam arti politik secara luas, bukan politik praktis. Jadi pesantren punya bobot politik, punya nilai politik. Perlu diperhatikan itu,” jelas Kiai Said.
Hanya saja, menurutnya, NU masih kurang bisa mewarnai politik di tataran nasional sekalipun sudah ada banyak orang NU yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan, seperti bupati, wali kota, gubernur, menteri, hingga presiden dan wakil presiden.
Namun, Kiai Said masih belum melihat ada peran signifikan dari kepala daerah yang mampu mewarnai cara berpikir, bersikap, dan berperilaku masyarakat dengan menggunakan kebudayaan NU.
“Kepala daerah dari NU harus bisa mewarnai cara berpikir, bersikap, berperilaku masyarakat dengan budaya NU. Wapres juga harus berperan meng-NU-kan masyarakat. Bukan harus dengan simbol NU, bukan. Tapi pola pikir, cara berpikir, berperilaku, cara berpolitik dengan ala NU. Itulah nanti yang disebut kekuatan besar politik yang dimiliki NU,” tegasnya.
Kelima, kekayaan ekonomi. Menurut Kiai Said, perekonomian di lingkungan NU masih sangat menyedihkan. Padahal, katanya, kalau para pengurus NU bisa sadar berorganisasi maka dapat dilakukan iuran setiap hari untuk membangun kekayaan.
“Nggak usah banyak-banyak. (Misalnya) 10 juta orang (warga NU) saja, setiap hari iuran Rp1000 saja, berarti sehari mencapai Rp10 miliar dari 10 juta orang itu. Selama 5 tahun, proposal berhenti itu,” katanya.
“Mau bikin masjid, madrasah, pesantren, kita bisa tanpa proposal. Dari 10 juta warga saja itu dan Rp1000 rupiah setiap hari maka kita akan kaya raya. Inilah yang kita masih ketinggalan jauh, tapi kita harus bisa membangun kekayaan finansial,” pungkas Kiai Said.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad