Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. (Foto: NU Online/Suci)
Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, salah satu sumber kegaduhan PPDB adalah Permendikbud No. 1 Tahun 2021. Beleid ini dijadikan acuan di daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh pemerintah daerah.
"Dampaknya sistem PPDB menuai protes di berbagai tempat dengan ragam kegaduhan yang berbeda-beda. Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, dan juga banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi," kata Ubaid kepada NU Online, Jumat (14/7/2023).
Regulasi ini, jelas Ubaid, melahirkan peraturan turunan di daerah-daerah, yang satu sama lain saling bertabrakan. Jadi masyarakat bingung, lalu terjadilah gaduh. Bila hanya ada 1 atau 2 daerah yang gaduh, maka bisa jadi daerah tersebut yang salah tafsir. Tetapi, jika ricuh itu terjadi di dimana-mana di semua daerah, berarti acuan Permendikbud-nya yang bermasalah.
Kesalahan sistematika kedua adalah pelaksanaan PPDB tidak pernah diaudit, terlebih untuk melihat sudah atau belumnya kebijakan itu memenuhi nilai berkeadilan. Dia mengemukakan, Permendikbud tentang PPDB terakhir diterbitkan tahun 2021. Tapi hingga kini, belum juga direvisi, padahal jelas memakan banyak korban karena ketidakadilan yang sistemik.
"Kemendikbudristek malah mengklaim secara sepihak, bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dan untuk pemerataan akses dan mutu. Tapi apa yang terjadi? Sejak diberlakukan tahun 2017 hingga kini 2023, pemerataan akses dan mutu itu masih jadi mimpi bersama, belum nyata adanya," ungkapnya.
Dari sisi akses misalnya, kata Ubaid, mayoritas anak tak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Soal mutu, juga masih terjadi kesenjangan. Tahun ini, pendaftar PPDB masih saja numpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Bahkan, kini pemerataan kualitas pendidikan kian rancu dengan adanya label sekolah penggerak.
"Kehadiran sekolah dengan label “sekolah penggerak” ini menjadi favoritisme atau stigma unggulan baru," ucap Ubaid.
Kesalahan berikutnya adalah kesesatan paradigma dalam sistem PPDB. Menurut Ubaid, sistem PPDB yang dicetuskan Kemendikbudristek, belum mampu menjamin semua anak dapat mendapatkan haknya untuk bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas. Padahal ini adalah amanah konsitusi (UUD 1945 pasal 31 dan UU Sisdiknas pasal 34).
"Jadi, perspektif yang benar adalah, sistem PPDB harus mampu memberikan kepastian dan jaminan layanan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, tanpa diskriminatif. “Sistem seleksi” dalam Permendikbud No. 1 Tahun 2021 dengan sendirinya akan menganulir dan mendiskriminasi mayoritas anak Indonesia untuk mendapat layanan pendidikan yang berkeadilan. Jadi, selama “sistem seleksi” ini diberlakukan, tentu praktik diskriminatif ini kian subur," jelasnya.
Perbaikan sistem PPDB
Pertama, Permendikbud No.1 Tahun 2021 harus direvisi dan diganti dengan aturan baru yang jelas dan berkeadilan. Aturan ini harus bisa langsung diterapkan tanpa harus menunggu Pemda membuat aturan turunan yang malah membingungkan dan menimbulkan diskriminasi di daerah-daerah.
Kedua, untuk memastikan semua anak kebagian jatah kursi di sekolah, Permendikbud tentang PPDB (yang baru) sebagai acuan utama, harus mewajibakan semua Pemda untuk melibatkan sekolah swasta saat PPDB, di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA. Ini penting karena kuota kursi di negeri sangat minim. Kuota kursi yang disediakan pemerintah saat PPDB, harus sebanding dengan jumlah kebutuhan.
Ketiga, jangan lagi menggunakan “sistem seleksi” dalam aturan PPDB yang baru. Gunakan sistem yang berkeadilan yang memastikan no one left behind dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Keempat, pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan layanan pendidikan yang berkualitas, termasuk di dalamnya adalah skema penuh (bukan subsidi) pembiayaan pendidikan, baik bagi anak-anak yang sekolah di negeri maupun di swasta. Jadi, semua bisa sekolah dengan bebas biaya, baik di negeri maupun di swasta.
Kelima, sistem zonasi bisa terus diterapkan, tapi harus dibarengi dengan pemerataan kualitas sekolah (di swasta dan negeri) tanpa harus melalui sistem seleksi. Jadi, semua anak akan dapat jatah sekolah yang berkualitas dan bebas biaya di dekat rumah.
Kontributor: Suci Amaliyah