Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara, Dekan Fakultas Hukum UIN Jakarta: Mengecewakan!
Senin, 23 Agustus 2021 | 16:00 WIB
Mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara (kiri) saat melakukan serangkaian kunjungan kerja di Kabupaten Malang (5/12/2020).
Jakarta, NU Online
Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhi vonis 12 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus bansos Covid-19. Sidang yang dipimpin oleh hakim M. Damis menyatakan Juliari bersalah dalam perkara bansos Covid-19.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta, serta uang pengganti Rp14,59 miliar,” kata Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis dalam pembacaan putusan, Senin, (23/8).
Menanggapi putusan pengadilan tersebut, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie mengaku kecewa. Pasalnya, korupsi yang dilakukan terdakwa, menurutnya, sudah memenuhi unsur "keadaan tertentu’" dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat 2. Artinya, terdakwa dapat dijatuhi hukuman mati.
“Vonis ini sungguh mengecewakan kita. Kasus korupsi yang dilakukan di masa darurat kesehatan ini, dalam amatan saya telah memenuhi unsur 'keadaan tertentu' sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999. Dalam pejelasan ketentuan tersebut 'Keadaan tertentu' yakni bencana alam nasional, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter,” katanya kepada NU Online, Senin (23/8).
Ia menjelaskan bahwa keadaan tertentu yang dimaksud dalam Pasal (2) ayat 2 dalam UU tersebut di antaranya bencana alam nasional. Sementara Pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Presiden sebagai darurat kesehatan sebagaiamna dituangkan dalam Kepres No 11 Tahun 2020.
Hakim beralasan bahwa hukuman tersebut dijatuhkan karena terdakwa sudah cukup menderita dengan hinaan dan makian masyarakat terhadapnya, selain karena sikapnya yang tertib dalam persidangan. Mendengar hal itu, Tholabie menganggapnya dipaksakan. “Argumentasi hukum yang dipaksakan. Kami sedih mendengar argumentasi itu muncul dari hakim,” katanya.
Menurutnya, logika demikian membuat koruptor dapat dinilai menderita. “Jika memakai logika begitu, seluruh koruptor akan dinilai telah menderita hinaan masyarakat, ya karena korupsi itu musuh kita bersama,” ujar akademisi kelahiran Serang, Banten, 45 tahun yang lalu itu.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja dalam urusan korupsi. Karenanya, Presiden harus dapat menerima berbagai masukan dari masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
“Presiden sebagai kepala eksekutif harus menangkap isyarat dan aspirasi dari publik khususnya dalam urusan pemberantasan korupsi. Kami berharap, Presiden dapat meninggalkan legacy yang positif di bidang pemberantasan korupsi,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Zunus Muhammad