Jurnalis Ungkap Perempuan Masih Jadi Target Kekerasan di Ruang Redaksi Media dan Ruang Publik
Selasa, 25 November 2025 | 19:00 WIB
Jurnalis Tempo Fransisca Christy Rosana dalam diskusi bertema 16 HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil yang digelar INFID di Rumah Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Minimnya keterwakilan perempuan di ruang redaksi serta menguatnya ancaman terhadap jurnalis perempuan menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi target kekerasan, baik di ruang kerja redaksi media hingga di ruang publik yang lebih luas.
Hal itu disampaikan Jurnalis Tempo Fransisca Christy Rosana saat membahas kondisi keamanan perempuan dalam ekosistem media dan ruang sipil, dalam diskusi bertema 16 HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Rumah Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).
Cica, sapaan akrabnya, menyebut bahwa absennya perempuan di ruang redaksi media berkontribusi pada terbatasnya sudut pandang media dalam mengangkat isu-isu kekerasan berbasis gender.
“Ketiadaan perempuan itu akan mempersempit ruang perspektif pada gender. Dengan adanya perempuan, itu akan memperkaya perspektif terhadap gender. Isu-isu kekerasan berbasis gender itu biasanya membutuhkan perspektif jurnalis perempuan,” ujarnya.
Cica juga menceritakan pengalaman teror yang pernah ia alami ketika menerima paket berisi kepala babi. Menurutnya, ancaman tersebut bukan hanya menyasar dirinya secara personal, tetapi juga mempengaruhi keseluruhan proses kerja tim redaksi.
“Melalui saya, teror yang ditujukan dengan pengiriman kepala babi itu bisa menghentikan kerja-kerja kami. Ketika paket itu ditujukan kepada saya, teman-teman di Tempo, fokusnya adalah pada saya. Sehingga kami di tim politik menjadi tidak fokus karena rekan kerja saya fokusnya jadi melindungi saya,” katanya.
Ia menilai kondisi ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kebebasan berekspresi. Kritik publik masih dianggap sebagai ancaman politik, bukan bagian dari hak dasar warga negara.
Sementara itu, Pengacara LBH Apik Jakarta menekankan pentingnya kolaborasi lintas generasi untuk memperluas edukasi mengenai kekerasan terhadap perempuan, terutama melalui media sosial.
Namun, ia mengingatkan bahwa ruang digital juga memiliki tantangan berupa penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kerap bias dalam praktik.
“Salah satu contohnya adalah, nah, Undang-Undang ITE itu kan beberapa kali direvisi ya. Kesannya memang undang-undang itu netral, karena kalau dilihat secara kasat mata ya netral, baik masyarakat bawah maupun penguasa punya hak yang sama ketika jadi korban untuk melaporkan. Tapi praktiknya kan enggak demikian,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa penggunaan UU ITE dalam banyak kasus justru lebih menguntungkan pihak berkuasa.
"Memang kalau pandangan kami diprioritaskan untuk pejabat untuk membungkam suara-suara masyarakat yang sebenarnya kritis. Nah, situasi-situasi kayak gini yang menurutku penting untuk tetap kita suarakan,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Presenter Maria Christy menilai bahwa warga negara tetap berkewajiban melakukan yang terbaik meski sistem hukum belum ideal.
Namun ketika situasi sudah sangat menyimpang dan membutuhkan dorongan dari masyarakat, ia merasa pekerja media memiliki ruang untuk menyuarakan kepentingan publik melalui pemberitaan.
“Misalnya yang paling simpel dan paling dekat adalah pelaksanaan MBG deh, yang kayaknya menolong banyak korban. Nah itu kan juga punya hak di depan layar kaca untuk berbicara, eh halo, sepertinya ini perlu ada cek-cek lagi yang lebih para bapak-bapak yang terhormat, supaya apa? Ini kok beritanya tiap hari korbannya ada aja, walaupun personsinya kecil, tapi sepertinya tidak ada harga sebuah nyawa yang pantas untuk jadi korban atau jadi tukang untuk terayu dari sebuah program yang ada,” ungkapnya.