Nasional

Kasus Bullying Meningkat dan Beragam, KPAI Sebut 3.800 Anak Alami Trauma Mental

Senin, 2 Desember 2024 | 09:00 WIB

Kasus Bullying Meningkat dan Beragam, KPAI Sebut 3.800 Anak Alami Trauma Mental

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Kasus kekerasan dan bullying terhadap anak semakin meningkat dan beragam di era perkembangan teknologi informasi. Hal itu dijelaskan Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Aries Adi Leksono menyebut setidaknya pada 2023 total ada 3.800 anak mengalami kekerasan yang beragam.


Merespon hal tersebut KPAI membuat program 15 perlindungan khusus anak, seperti anak korban kekerasan, anak korban kekerasan seksual, anak korban kejahatan siber, anak korban eksploitasi ekonomi, anak korban penjualan manusia, dan lain-lain. Kekerasan anak di lingkungan pendidikan juga bisa masuk di klaster pemenuhan hak anak dan klaster perlindungan khusus anak.


Merespon hal ini KPAI membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), tetapi tidak semua kabupaten atau kota memiliki KPAD yang mengacu pada undang-undang nomor 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak, yang kemudian ada perubahan menjadi undang-undang nomor 35 tahun 2014, tentang perlindungan anak. 


“Bahkan, se-Indonesia baru ada 32 KPAD, baik tingkat provinsi maupun kota. Semakin hari kasus kekerasan terhadap anak bukan berkurang tapi malah bertambah. Maka, ini diperlukan upaya sistemik, upaya komprehensif, dukungan kelembagaan maupun dukungan program, dukungan kebijakan hingga anggaran yang kemudian respek terhadap pencegahan kekerasan terhadap anak,” ujar dalam Channel Youtube Deep Talk dikutip NU Online, Senin (2/12/2024). 


Aris mengatakan, secara kelembagaan KPAI mempunyai mandat pengawasan terhadap perlindungan anak ketika mendapatkan kekerasan. Di dalam pelaksanaan teknisnya, dibagi menjadi dua klaster.


Pertama, klaster pemenuhan hak anak dan, kedua adalah klaster perlindungan khusus anak. Dalam klaster-klaster tersebut masing-masing komisioner mengampu isu-isu tertentu untuk mengatasinya sampai selesai.


“Dan saya sendiri kebetulan mengampu tentang pendidikan, budaya dan agama,” ucap Aris Adi Laksono yang juga Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PP Pergunu).


“Kekerasan di lingkungan pendidikan tentu masuk di klaster bisa dua-duanya, kalau konteksnya pencegahan masuk di klaster pemenuhan hak anak, kalau kemudian kekerasannya mengarah kepada ranah hukum, maka perlindungan pengawasan dan perlindungan itu masuk di klaster perlindungan khusus,” terangnya.


Dalam Kriteria kekerasan terhadap anak itu mengacu pada undang-undang perlindungan anak, yaitu mulai sejak dalam kandungan hingga anak berusia 18 tahun.


“Artinya kalau 18 tahunnya pas ya kan maka masih menjadi konsen kami di KPAI. Kalau lebih meskipun satu menit ya mungkin kami bisa memberikan layanan konsultasi itu, masukan-masukan, kemudian rujukan ke mana dan seterusnya,” tuturnya.


Ia melanjutkan, bullying termasuk kekerasan. Bullying atau perundungan kemudian kekerasan seksual ini masih sering terjadi di dunia pendidikan. Padahal, pendidikan harus memberikan rasa aman, rasa nyaman, memberikan kepastian terhadap anak untuk kemudian bisa mendapatkan ilmu, bisa belajar dengan senang.

 

Tetapi, masih ada beberapa yang melakukan bullying oleh pendidik sendiri atau temannya sendiri, bahkan oknum dari satuan pendidikan sendiri itu justru melanggar. Nampaknya, bullying ini sepele, padahal yang terjadi dapat membuat motivasi belajar anak turun, fokus belajar anak-anak menurun, bahkan bisa terjadi trauma bagi anak.


Aris mengungkapkan Kekerasan terhadap anak faktanya, tidak semuanya berlatar belakang ekonomi, yang lebih dominan berawal dari pengasuhan sesungguhnya, yakni kedekatan antara anak dan orang tua.

 

Kedekatan antara anak dan orang tua sangat penting sehingga perhatian yang dibutuhkan oleh anak bisa terpenuhi secara maksimal, kemudian orang tua bisa memberikan keteladanan secara maksimal dan orang tua juga bisa memberikan pendampingan pengawasan secara maksimal.


“Faktanya, di KPAI yang mengadu tidak sekedar yang ekonomi menengah ke bawah, menengah ke atas juga cukup banyak sekali dan setelah kita dalami ya persoalannya berawal dari pola asuh,” katanya.


Ia menyarankan kepada para orang tua di zaman yang semakin canggih teknologi, mereka harus lebih waspada kepada anaknya, harus lebih intensif lagi dalam hal melakukan pengawasan. Karena, anak zaman sekarang sudah canggih menggunakan media sosial.


“Sementara kalau orang tua tidak mengontrol atau tidak memeriksa apa yang ditonton oleh anak, ada kemungkinan tontonan tersebut yang memicu anak untuk dia ikuti, kalau positif tidak masalah kalau negatif malah menjadi bahaya,” jelasnya.


Lanjutnya sebut satu maqolah Al-Ummu madrasatul ula, bahwa ibu merupakan madrasah pertama bagi anaknya, berarti bukan dibebankan kepada ibu saja, tapi juga ada ayah.


“Maka upaya membentuk anak mempunyai karakter baik, punya kemandirian, punya kedisiplinan, punya tanggung jawab, dan punya kepedulian empati. Itu semuanya berawal dari orang tua,” tutupnya