Kasus Uighur, GP Ansor Minta Klarifikasi atas Lahan Migas di Xinjiang
Senin, 16 Desember 2019 | 04:35 WIB
Menurut Gus Yaqut, berdasar data yang diperoleh pihaknya dan kemudian diolah, kasus yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang ini tak lain soal penguasaan lahan saja. Isu agama, budaya dan lainnya membuat motif aslinya tampak kabur, dan membuat kasus menjadi semakin rumit.
Dari data yang pihaknya peroleh, Gus Yaqut menjelaskan bahwa di Xinjiang ada beberapa blok migas, sumur gas, dan pipa gas. Bahkan dalam catatannya, pernah ada penawaran terhadap 30 blok migas di Xinjiang pada 2017. Semua bloknya onshore (di daratan).
“Jadi, berita tentang etnis Muslim Uighur dengan segala bumbunya seperti ditulis the Wall Street Journal, saya kira perlu ada klarifikasi. Jangan-jangan ini hanya soal ingin menguasai lahan di Xinjiang yang kaya akan sumber daya alam saja," ujar Gus Yaqut kepada NU Online, Senin (16/12).
Sebab itu, kata Gus Yaqut, GP Ansor memilih bersikap hati-hati. Namun demikian dia mendesak adanya klarifikasi yang cepat sekaligus tepat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok, maupun Kementerian Luar Negeri RI mengenai hal ini, dan mendiskusikan apa yang bisa dan sebaiknya Indonesia lakukan untuk menciptakan perdamaian dunia, termasuk di Xinjiang.
Dijelaskan, kasus etnis muslim Uighur tersebut adalah masalah geopolitik. Politisasi terhadal kasus ini, yakni Islam vs Tiongkok justru membuat komplikasi dari kasus yang sudah rumit tersebut, ditambah dengan konstelasi politik hari ini yang cenderung berwujud sebagai neo cold war geopolitics di mana ada benturan politik ekonomi dan ideologi antara Barat (Amerika) dan Timur (Tiongkok).
Di sisi lain, kata Gus Yaqut, GP Ansor memahami bahwa Tiongkok memiliki kepentingan untuk mengundang dan memperkuat hubungan (engagement) dengan para stakeholders dan key opinion leaders dari seluruh negara di dunia, untuk melihat masalah Uighur, termasuk tokoh NU, Muhammadiyah, akademisi, dan lainnya.
"Ansor juga dapat memahami bagaimana Amerika dan aliansinya melalui semua kanalnya bersuara untuk kepentingan dan keuntungan mereka, termasuk Wall Street Journal (WSJ) yang membeberkan laporan terkait hal ini, tapi di saat bersamaan mempromosikan layanan subscribe untuk jadi pembacanya," tutup Gus Yaqut.
Pewarta: Fathoni Ahmad