Kebijakan Tes PCR Berubah-ubah, Pemerintah Dinilai Tak Cermat Rumuskan Aturan
Jumat, 5 November 2021 | 08:30 WIB
Jakarta, NU Online
Kebijakan pemerintah terkait tes PCR (Polymerase Chain Reaction) sebagai syarat perjalanan tercatat sudah tiga kali mengalami perubahan. Terbaru, pemerintah akhirnya menghapus tes PCR sebagai syarat penerbangan bagi mereka yang sudah vaksin lengkap. Kebijakan yang terus berubah ini membingungkan masyarakat.
Terkait hal tersebut, Pengamat Hukum Administrasi Negara Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Muhtar Said menyatakan gonta-ganti aturan yang dilakukan pemerintah menunjukkan ketidakcermatan pemangku kebijakan dalam perumusan aturan.
“Apabila kebijakan berubah-ubah maka menandakan kebijakan yang dibuatnya dibuat dengan cara tidak cermat,” ungkapnya kepada NU Online, Jumat (5/11/2021).
Dosen yang juga Advokat ini menilai, perubahan kebijakan yang menimbulkan kebingungan masyarakat ini kuat berdampak juga terutama kepada aparat pelaksana di lapangan. Hal ini cukup disayangkan, lantaran kebingungan akibat gonta-ganti aturan tersebut dapat memengaruhi kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.
Selain menyinggung isu kepercayaan, gonta-ganti aturan tersebut berpotensi melahirkan praduga masyarakat terkait arah kebijakan yang dibuat selalu plin-plan dan tidak konsisten. Menurut Muhtar Said, suatu kebijakan yang diterapkan kepada masyarakat wajib melalui mekanisme yang matang.
“Dalam teori kebijakan publik, pada hakikatnya adalah kebijakan itu berkesinambungan, sehingga harus ditata rapi. Sehingga untuk membuat kebijakan dibutuhkan beberapa persiapan, kajian mendalam dan mitigasi persoalan,” paparnya.
Oleh karena itu, perjalanan panjang dan matang dalam perumusan suatu kebijakan dinilai harus dapat menghadirkan maslahat kepada masyarakat.
“Fundamentum iustitiae primum est cui noceatur, landasan utama keadilan adalah tidak merugikan orang lain,” terangnya.
Melihat fakta gonta-ganti kebijakan, ia menyoroti penggunaan surat edaran (SE). Menurutnya, SE sendiri bersifat internal dan hanya mengikat kepada jajaran di dalam instansi tersebut.
“Produk kebijakan publik yang bisa dikeluarkan oleh pemerintah adalah beschinking (Surat Keputusan) atau regeling (peraturan), sedangkan Surat Edaran tidak dikenal dalam konsep negara hukum,” ujar Muhtar.
“Sedangkan jika SE diterapkan di luar instansi tidak mengikat. Oleh karena itu untuk lebih mengikat bisa melalui Peraturan Presiden, sehingga bisa ditindaklanjuti oleh semua instansi. Hal ini dikarenakan dalam sistem negara Presidensil, Presiden adalah kepala pemerintahan. Hal itu juga ada dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945,” pungkasnya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi