Jakarta, NU Online
Tafsir Al Qur'an di Indonesia masa reformasi seharusnya membahas isu yang berbeda. Karena yang dihadapi tidak lagi negara, namun pasar.
Guru Besar IAIN Jember KH M Noor Harisudin menyampaikan hal itu di hadapan peserta diskusi buku Tafsir Al-Qur'an dan Kekuasaan di Indonesia di Aula Islam Nusantara Center Wisma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (1/10).
Prof Haris mengapresiasi buku karya Islah Gusmian tersebut, meskipun ada beberapa hal yang tidak disetujui, misalnya anggapan bahwa semua tafsir karya ulama Indonesia memiliki kepentingan politis-kekuasaan.
"Dalam pandangan saya, tidak semua tafsir seperti Tafsir Al Huda, Bakri Syahid, yang juga Rektor IAIN Yogyakarta dan menjadi birokrat negara pada tahun 1970-an. Syaikh Nawawi Al Bantani ketika menulis Tafsir Marah Labid juga tidak punya kepentingan, selain nasyrul ilmu," tukas M Noor Harisudin, guru besar termuda yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia tersebut.
Sementara itu, Islah Gusmian membeberkan klasifikasi di masa Orde Baru. "Ada tafsir bungkam, tafsir gincu, dan tafsir kritis. Tafsir bungkam ini yang mendukung Orde Baru seperti Tafsir Al Huda karya Bakti Syahid. Tafsir Gincu seperti Dawam Rahardjo. Kalau Tafsir Kritis, seperti Syu'bah Asa," tandas Islah Gusmian yang juga Dosen Pascasarjana IAIN Surakarta tersebut.
Sebelumnya, Islah juga menjelaskan berbagai model tafsir masa lalu di Nusantara. "Kita harus belajar pada karya tafsir masa lalu di Nusantara, untuk menggapai masa yang akan datang. Karena itu, kita musti belajar pada tafsir karya Kiai Soleh Darat, Kiai Ahmad Rifa'i, KH Mustofa Bisri, dan sebagainya," ujar dosen yang sangat produktif tersebut.
Dinamika tafsir Al-Qur'an memang tidak terhenti. Al Qur'an akan berbicara sepanjang zaman tentang hal ihwal yang berkaitan dengan manusia. Di situlah, tafsir Al Qur'an akan menjadi rujukan memahami Al-Qur'an. Wallahu'alam.
Kontributor: Sohibul Ulum
Media Editor: Kendi Setiawan