Kemunduran Demokrasi dan Kriminalisasi Aktivis Jadi Catatan Selama Setahun Prabowo-Gibran
Jumat, 31 Oktober 2025 | 09:30 WIB
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Alviani Sabillah. (Foto: tangkapan layar Youtube PBHI Nasional)
Jakarta, NU Online
Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai menunjukkan kemunduran dalam praktik demokrasi serta penegakan hukum di Indonesia.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Alviani Sabillah menyebut, pemerintahan saat ini memperlihatkan pola otoritarianisme baru.
Hal itu terlihat dari meningkatnya kriminalisasi terhadap aktivis muda, melemahnya komitmen terhadap hukum, serta hadirnya regulasi yang dinilai mengancam kebebasan sipil.
Menurut Alviani, kondisi tersebut paling dirasakan oleh generasi muda yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
“Pemuda yang kritis dan peduli terhadap situasi negara justru mengalami kriminalisasi. Banyak dari mereka masih ditahan, bahkan sebagian memilih melakukan self-censorship karena takut diserang atau dikriminalkan,” ujar Alviani, dikutip NU Online melalui Youtube PBHI Nasional, Jumat (31/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa kritik semestinya dipahami sebagai bentuk kepedulian warga negara terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi.
“Padahal kritik itu bentuk kepedulian terhadap hukum, politik, sosial, dan ekonomi yang hari-hari ini jadi perhatian kita semua,” tambahnya.
Selain itu, Alviani menyoroti konsolidasi oligarki yang semakin menguat, terutama ketika banyak pejabat negara memiliki kepentingan bisnis pribadi.
“Banyak pejabat kita yang punya kepentingan bisnisnya sendiri. Ini menciptakan pola kriminalisasi, polisi yang represif, dan situasi kerentanan data publik karena ada perjanjian-perjanjian yang tidak transparan,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa kondisi ini merupakan tanda-tanda munculnya otoritarianisme baru.
“Kita pelan-pelan sedang bergerak ke arah itu,” tegasnya.
Tanda negara menuju otoritarianisme
Mengutip pemikiran Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die, Alviani menjelaskan empat indikator negara yang bergerak menuju otoritarianisme, dan keempatnya kini terlihat di Indonesia.
Pertama, lemahnya komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Ia menilai, pemerintah saat ini melanjutkan pola yang mengabaikan aturan main.
“Putusan MK yang meloloskan Gibran dalam Pilpres adalah sinyal kuat lemahnya komitmen terhadap aturan main demokrasi,” katanya.
Kedua, penyangkalan terhadap legitimasi oposisi.
“Oposisi dianggap makar, antek asing, atau pengacau. Ini gejala klasik dari pemerintahan yang tak siap dikritik,” ujar Alviani.
Ketiga, toleransi terhadap kekerasan oleh aparat. Ia menyoroti kewenangan baru kepolisian dalam menghadapi massa aksi.
“Polisi kini punya Perkap baru, Nomor 4 Tahun 2025, yang memberi kewenangan untuk menangkap dan bahkan menggunakan senjata api terhadap massa aksi. Ini sangat berbahaya,” tegasnya.
Keempat, pembatasan kebebasan sipil dan media.
“UU ITE, UU Ormas, KUHP baru semuanya menjadi alat represi. Negara menggunakan hukum untuk membungkam warga,” ujarnya.
PSHK mencatat bahwa selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, komitmen negara terhadap reformasi hukum dan HAM berjalan sangat lemah. Dari 18 rancangan undang-undang (RUU) prioritas yang diajukan untuk periode 2025-2026, hanya dua yang disahkan.
“Itu artinya 90 persen RUU menunggak. Presiden belum menunjukkan keseriusan dalam menata regulasi dan memperkuat demokrasi,” jelasnya.
Ironisnya, undang-undang yang justru disahkan dinilai kerap memuat kepentingan ekonomi-politik tertentu.
“Pemerintah justru mendorong UU yang tidak ada di Prolegnas seperti UU TNI dan UU Minerba. Ini menunjukkan arah legislasi yang tidak berpihak pada rakyat,” tuturnya.
Alviani menegaskan bahwa hukum dan aparat kini digunakan sebagai sarana legitimasi tindakan represif negara.
“Negara menggunakan hukum, undang-undang, dan peraturan kepolisian untuk membungkam suara-suara kritis dan kepedulian anak muda. Ini tanda serius kemunduran demokrasi,” katanya.
Ia mengingatkan masyarakat sipil untuk tetap siaga dan tidak menormalisasi situasi tersebut.
“Kalau kita tidak kritis, jangan-jangan kita sedang masuk ke babak baru otoritarianisme yang diselimuti wajah demokrasi,” pungkasnya.