Kepada Pemerintah, PBNU: Tempatkan Petani pada Sistem Agroindustri yang Besar
Jumat, 16 Oktober 2020 | 12:30 WIB
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mochammad Maksum Machfoedz menyarankan agar proyeksi pemerintah di dalam setiap kebijakan harus pro terhadap kedaulatan pangan dengan landasan normalitas perekonomian nasional.
“Kedaulatan pangan itu berarti jangan melihat petani sebagai buruh di pertanian, tetapi mari kita tempatkan petani di dalam sistem agroindustri yang besar. Kalau tidak begitu, maka selamanya nasib petani tidak akan pernah berdaulat,” tegas Prof Maksum dalam diskusi virtual bertajuk Hari Pangan Sedunia: Mengantisipasi Krisis Pangan di Masa Pandemi yang digelar Badan Restorasi Gambut (BRG) dan NU Online, Jumat (16/10).
Dikatakan Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri Pertanian UGM ini, selama 75 tahun Indonesia merdeka sistem kebijakan pemerintahan hanya menempatkan petani sebagai produsen pangan dan bahan baku murah. Kemudian petani selama ini hanya dianggap sebagai bumper inflasi.
“Petani juga hanya menjadi korban dari UMR/UMP yang kemudian harga (bahan pangan) tidak boleh naik, supaya UMP/UMR rendah sehingga industrialisasi sukses. Secara umum untuk stabilisasi politik saja,” tuturnya.
Selain itu, ia juga menyoroti soal impor pangan. Katanya, impor tidak menjadi persoalan tetapi harus dilakukan ketika keadaan yang sangat darurat dan terpaksa. Dengan demikian untuk menentukan soal impor itu, harus benar-benar diperhitungkan dengan sangat matang.
“Impor adalah persoalan perdagangan bisa, boleh dilakukan dan tidak masalah. Namun harus diperhitungkan dengan matang karena impor pangan itu tidak hanya bersinggungan dengan masalah finansial tapi juga ekonomi dan budaya,” katanya.
Ia pun menyoroti UU Cipta Kerja pasal 64 pada poin ketujuh yang merevisi UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Di dalam UU Cipta Kerja berbunyi, “Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.”
Prof Maksum memaknai bahwa kalimat aturan di atas itu adalah sebuah satu kesatuan. Bahwa ketersediaan pangan berasal dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
“Jadi (sebenarnya) impor boleh, tapi harus ketika kondisi sangat terpaksa. Sayangnya di aturan UU Cipta Kerja itu menggunakan athaf wawu (kata hubung ‘dan’). Kalau pakai ‘dan’ maka ada kesepadanan antara hasil produksi, cadangan nasional dan impor. Itu berarti ada kesamaan status di antara ketiga hal itu,” jelasnya.
Sementara itu Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian Kuntoro Boga menjelaskan soal UU Cipta Kerja pasal 64 itu. Katanya, impor pangan hanya akan dilakukan jika pilihan pertama dan kedua untuk ketersediaan pangan tidak mencukupi.
“Kami memohon untuk masyarakat memperhatikan jawaban-jawaban pemerintah. Menelisik dan membaca dengan benar isi dari UU Cipta Kerja ini. Tidak ada sama sekali keinginan untuk memudahkan impor pangan,” kata Kuntoro.
“Jadi kalimatnya memang bahwa cadangan pangan nasional akan dipenuhi melalui produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Tapi ada keterangannya di situ, bila satu tidak cukup, dua tidak cukup, maka kita akan impor untuk ketersediaan pangan,” jelasnya.
Menurut Kuntoro, impor pangan hanya akan dilakukan jika sudah melakukan segala upaya untuk menyediakan ketersediaan pangan tapi tidak bisa mencukupi.
“Kami tidak ada keinginan sekali untuk memberikan tekanan produksi dalam negeri atau menyengsarakan rakyat. Di UU Cipta Kerja tolong dibaca lagi secara jernih tidak ada keinginan pemerintah untuk mencederai kepentingan masyarakat,” pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad