Kepala Desa di Sejumlah Daerah Tolak Masa Jabatan Kades 9 Tahun
Ahad, 22 Januari 2023 | 20:00 WIB
Sejumlah kepada desa saat berunjuk rasa di Gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023) menuntut perpanjangan masa jabatan kades 9 tahun. (Foto: dpr.go.id)
Jakarta, NU Online
Tak semua kepala desa setuju dengan tuntutan perpanjangan masa jabatan kades. Kepala desa di sejumlah daerah menolak perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Berbagai alasan dilontarkan, salah satunya oleh Achmad Yusuf, Kepala Desa Penundan, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Yusuf, sapaan akrabnya, menganggap revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait masa jabatan kepala desa hingga sembilan tahun dinilai kurang tepat.
"Menurut saya kurang tepat apa lagi alasan yang dikemukakan adanya gesekan di masyarakat usai pemilihan kepala desa," kata Yusuf kepada NU Online, Ahad (22/1/2023).
Yusuf mengungkapkan, konflik-konflik atau gesekan sosial yang kerap terjadi di masyarakat pasca pilkades bisa diupayakan agar segera terjadi rekonsiliasi. Dan, di situ ada peran kades terpilih.
"Terkadang yang memelihara konflik itu sendiri ya kadesnya. Artinya, kades terpilih masih mengklasifikasikan pendukung misalnya dalam pelayanan administratif dan kebijakan politik akan memprioritaskan para pendukungnya," ungkapnya.
"Kalau alasan untuk menghindari gesekan, saya rasa kurang tepat apalagi yang dikorbankan masa jabatan," imbuhnya.
Kemudian soal kinerja, Yusuf beranggapan bahwa kacamata penuntasan visi misi kepala desa yang tertuang dalam RPJMDes-nya 6 tahun memang dirasa kurang cukup untuk merealisasikan program. Namun jika program ini dalam satu periode dirasa tidak maksimal, bisa tuntaskan di periode berikutnya.
"Kalau kita bicara visi misi dipercepat atau akselerasi pembangunan fisik sudah ada dana transfer tiap tahun. Belum lagi kalau kita punya jaringan-jaringan untuk dana aspirasi baik dari provinsi maupun kabupaten. Kecuali dua tahun kemarin saya akui sejak ada Covid-19 sangat mengganggu sekali tapi kalau di tahun ideal, normal tidak ada hambatan," katanya.
Titik jenuh dan mundurnya demokrasi
Bagi Yusuf, masa 9 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kepala desa maupun masyarakat akan jenuh dan ini tidak sehat dalam pelaksanaan program pemerintah.
"Jabatan yang terlalu lama bisa berada dalam titik jenuh dari kita yang menjalankan maupun dari masyarakat yang menunggu," jelasnya.
Alasan lain yakni soal SDM kepala desa yang tidak sama baik dari latar belakang maupun pendidikan hal itu dapat memicu kekuasaan yang tidak sehat.
"Ketika jabatan terlalu lama tahun dalam satu periode bisa saja kita akan lari ke hal-hal yang negatif karena jabatan itu kan candu kalau tidak dibarengi dengan spiritualitas yang bagus, lamanya berkuasa menciptakan ke arah yang negatif," jelasnya.
"Periode 9 tahun bisa memicu ke situ. Yang ideal 6 tahun kalau kita bagus dan masih mau diterima masyarakat bisa tiga kali periode sampai 18 tahun," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Ilangata, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, Sumarjin Mahulaoo mengatakan waktu 6 tahun cukup bagi kepala desa untuk menjalankan program pemerintah desa.
"Saya pikir cukup apabila anggaran dana desa dimanfaatkan secara efektif dan baik sesuai visi misi kades terutama skala prioritas kebutuhan masyarakat dan desa itu sendiri," ucapnya.
"Yang saya tidak setuju sekarang ini adalah pemerintah dalam hal ini presiden dan menteri desa terkesan tidak ikhlas mengucurkan dana desa di seluruh Indonesia," keluhnya.
Hal ini didasarkan pada pengalaman Sumarjin dalam menjalankan program-program sebagai kades yang sudah dijanjikan lewat visi misi kampanye dan RPJMDes.
"Ternyata anggaran dana desa sudah diatur penggunaannya lewat peraturan menteri desa sehingga kami terkesan tidak mampu menuntaskan janji saat kampanye baik dari sisi pembangunan maupun pemberdayaan di desa dalam menjalankan amanat rakyat sebagai kades," tandasnya.
Sebelumnya, perangkat-perangkat desa menggelar aksi unjuk rasa secara nasional, termasuk di depan Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/1). Mereka menuntut agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Beberapa tuntutan dalam revisi UU Desa itu antara lain terkait masa jabatan kepada desa yang diinginkan sembilan tahun selama tiga periode. Kemudian, soal moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana dan persoalan dana desa.
Peneliti Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Sunaji Zamroni atau Naji menyebut bahwa masa jabatan sembilan tahun membuka peluang besar penyelewengan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
“Karena kita tidak bisa menjamin cara pemilihan kades itu profesional dan mesti selalu memperoleh pemimpin desa yang bersih, jujur, dan amanah,” kata Naji.
Ia kemudian membeberkan besaran anggaran yang diterima desa. Sedikitnya setiap desa mendapatkan anggaran dari pemerintah sejumlah 1-1,5 miliar rupiah. Jumlah tersebut jika terlalu lama dikelola oleh orang yang sama maka berpotensi menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
“1-1,5 miliar itu paling minimal. Kalau di desa-desa di Jawa, seperti Jateng dan Jatim itu bisa sampai 3-3,5 miliar. Itu kan sumber daya yang besar bagi desa belum lagi ada tanah desa sebagai aset, yang menjadi salah satu tunjangan bagi yang menjabat,” ungkapnya.
“Jadi, orang yang memimpin satu teritori yang lama itu tidak baik,” sambung dia.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad