Bantul, NU Online
“Ayo menang, ayo menang. Ayo main, main, main, main. Bikin gol, bikin gol!!! Buat beli jengkol, buat beli jengkol,” begitu teriakan KH Ahmad Makhrusillah, manajer dari kesebelasan Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah dari bangku official di lapangan Sultan Agung Bantul, Yogyakarta Jumat sore.
Tidak kurang tiga kali ia menyebut jengkol. Setelah mengucapkan itu, pemain tetap bermain sebagaimana mestinya di lapangan. Mereka fokus bola dan mengawal lawan. Tak ada reaksi apa-apa dari tim official lain atau pemain cadangan. Juga tak adareaksi dari orang-orang agak jauh darinya yang mungkin bisa mendengar teriakannya.
Entah apa maksudnya jengkol dan apa hubungannya dengan sepak bola? Mungkin pemain, pengamat, pelatih, penonton, pencipta, sepak bola mana pun tidak tahu. Atau mungkin bentuk penyemangat khusus? Kalau iya, mungkin satu-satunya kata penyemangat di jagat sepak bola yang menggunakan kata itu. Atau mungkin saking cintanya pada buah yang bikin meringis ketika seseorang mendapati baunya di toilet itu sehingga lidahnya keserimpet ketika memberi semangat? Atau hanya guyon belaka? Atau memang tidak ada artinya? Dan atau atau yang lain.
Mungkin hanya kiai itu yang tahu. Dan kita tak perlu menafsirkannya.
Lalu bagaimana dengan membeli? Bukankah dia bilang buat beli jengkol? Lalu bagaimana ketika timnya kalah, apakah jengkol tidak jadi dibeli?
Ternyata kesebelasan Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah kalah melaju ke final. Langkahnya kandas oleh kesebelasan Pondok Pesantren Walisongo Sragen, Jawa Tengah dengan skor tipis 0-1 pada permainan yang sangat menarik untuk ditonton. Pemain legendaris asal Persib Bandung, Robby Darwis, menyebutnya itu seharusnya laga final Liga Santri Nusantara tahun ini.
Pengamat sepak bola nasional M Kusnaedi menyebut Al-Asy’ariyah sebagai tim yang paling menakutkan lawan. Karakter permainan mereka adalah mendikte lawan. Banyak tekanan di sana-sini. Tak pernah membiarkan lawan menguasai bola. Jika ada satu pemain lawan menggiring bola, maka dua tiga pemain telah otomatis mengepungnya.
Namun, pada pertandingan melawan Walisongo, sampai pertengahan babak pertama, mereka seperti kehilangan pola. Lapangan tengah banyak dikuasai lawan. Bahkan Walisongo terkesan mendikte. Suplai bola untuk M Raply di depan seperti terkunci. Sebaliknya Walisongo bisa menembus pertahanan kiri. Dan tendangan kaki kanan Faisal bayu Prasetyo dari dalam kotak Penalti mambobol gawang Al-Asy’ariyah.
Pada babak kedua, mereka seperti sadar akan kesalahan babak pertama. Mereka kemudian tampil lebih berusaha keras lagi. Tapi sayang, mereka kali ini berhadapan dengan kesebelasan yang memiliki disiplin tinggi. Pertahanan mereka kuat. Walisongo memang memiliki tradisi lumayan panjang di wilayah Sragen sebagai penyelenggara tahunan kompetisi sepak bola. Mereka belajar dari kegagalan di Liga Santri tahun lalu.
Skor tetap sama sampai peluit panjang dibunyikan wasit, 0-1.
Apalah Al-Asy’ariyah benar-benar kalah? Tidak juga. Mereka memiliki M. Raply kandidat terkuat sebagai mesin gol terbanyak tahun ini. Juga masih bisa merebut juara ketiga melawan Al-Falah Kabupaten Bandung Ahad (30/10) pagi ini.
Tapi, kita tidak tahu apakah mereka jadi membeli jengkol. Kita mungkin tidak bisa menebak atau menfasirkannya. (Abdullah Alawi)