Diskusi Penyempitan Ruang Kebebasan Internet: Peretasan, Pemblokiran, dan Penutupan Internet di Era Jokowi (Tangkapan layar Youtube)
Jakarta, NU Online
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK, Sujanarko mengatakan perlunya membuat aturan mengenai penyadapan. Menurutnya hingga saat ini, belum ada aturan yang jelas mengenai siapa yang dapat melakukan penyadapan. Lebih buruk lagi, ia menduga, di tengah absennya regulasi mengenai penyadapan ini, terdapat banyak kelompok yang memiliki kemampuan dan telah melakukan penyadapan secara ‘anarkis’.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertema Penyempitan Ruang Kebebasan Internet: Peretasan, Pemblokiran, dan Penutupan Internet di Era Jokowi yang digelar oleh kerja sama Public Virtue Research Institute (PVRI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ahad (6/6).
“Hari ini kan tidak jelas, siapa yang melakukan crack, apakah itu dilakukan oleh negara atau swasta, kita tidak tahu. Karena memang di Indonesia peraturan mengenai penyadapan ini tidak ada. Bahkan peraturan penyadapan yang diinisiasi oleh KPK melalui Kominfo akhirnya dibatalkan oleh MK. Di lembaga-lembaga negara itu anarkis,” kata dia
Oleh karena itu, menurut dia, untuk memulai merapikan penyadapan ini harus dimulai dari regulasi dan mengatur lembaga yang formal dan legal. “Kita dorong yang legal-legal diatur secara rigid dan dilakukan monitoring, baik untuk Polisi, KPK, BIN, BAIS. Kalau yang legal tidak bisa dikendalikan, bagaimana bisa mengendalikan yang swasta,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa di zaman yang serba digital, pemberantasan korupsi bermuara pada informasi elektronik. Sehingga penegakan hukum harus dibekali dengan kemampuan digital yang baik. “Kalau penegak hukum tidak dibekali kemampuan digital, maka akan sia-sia dan menyulitkan,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Edho Sinaga dari Aliansi Jurnalis Independen lebih banyak menyoroti masifnya serangan digital terhadap jurnalis. Dalam data AJI, penggunaan UU ITE untuk meneror pada 2020 meningkat. Ia mencontohkan, para jurnalis yang melaporkan isu-isu seperti Papua, KPK, dan lainnya menerima doxing dan bahkan dipenjarakan.
“Doxing ini sangat berbahaya karena data privasi dari jurnalis tersebar, mulai dari alamat, pekerjaan istri, sekolah anak, dan lainnya. Oleh karena itu, mewakili jurnalis saya ingin pemerintah merevisi UU ITE. Media adalah salah satu corong publik untuk berpendapat, namun hal ini tidak dapat terpenuhi apabila jurnalis direpresi,” kata dia.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya pernah menjadi salah satu korban aksi doxing. “Data kami disebarkan di internet dengan kalimat yang diberitakan seolah-olah anti NKRI, dan lain-lain,” kata dia.
Ia juga menyoroti aksi pemerintah dalam melakukan pemblokiran internet di Papua yang tentu saja membuat kerja jurnalisme terhambat. “Para jurnalis di Papua tidak dapat mengirimkan informasi. Mereka terpaksa menggunakan cara lama, yakni melalui SMS yang sampai keesokan harinya,” ujar dia.
Sementara Stanislaus Axel Paskalis dari DEMA Fisipol UGM mengungkapkan bahwa kelompok mahasiswa juga mengalami intimidasi dan represi dalam melakukan aksi secara digital. “Mahasiswa melakukan aksi mendapat doxing dan mendapat sebutan komunis. Saat diskusi Papua juga ada pematerinya yang diretas,” kata dia.
Karena itu, gerakan mahasiswa saat ini menyiasati dengan memperbanyak diskusi langsung dalam skala yang lebih kecil, demi untuk mengurangi dampak serangan digital. Menurutnya gerakan offline saat ini kembali menjadi alternatif di tengah banyaknya serangan digital.
Pada kesempatan yang sama Donny Budi Utoyo sebagai keterwakilan Kominfo mengatakan salah satu tantangan yang kerap dihadapi saat ini adalah adanya ruang gema (echo chamber) di internet akibat algoritma. Algoritma membuat seseorang hanya akan bertemu dengan komunitas yang satu gagasan di ruang digital.
Algoritma yang konsep dasarnya untuk memberikan referensi atau rujukan informasi agar lebih mudah, kemudian memunculkan dampak negatif karena mengunci opini masyarakat,” kata dia.
Mengenai peretasan, ia menyampaikan bahwa Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Kominfo bersedia membantu kelompok masyarakat yang dibobol akun media sosial dan platform chatting-nya.
"Kalau ada pengaduan ke unit Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo akan dibantu minimal untuk mengecek perangkat di laboratorium Digital Forensik Kominfo untuk memastikan keamanan perangkat tersebut," katanya.
Regresi demokrasi melalui represi dan pembungkaman terhadap suara kritis makin garang dilakukan. Di saat diskusi ini sedang berlangsung, akun Instagram milik WatchDoc Documentary pun tiba-tiba lenyap. Hal ini diduga berkaitan dengan aksi WatchDoc Documentary membuat film dokumenter berjudul The End Game yang mengangkat kesaksian pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin