Sejatinya mendalami sains dan teknologi merupakan wujud upaya meneruskan tradisi para ulama terdahulu.
Jakarta, NU Online
Jumlah santri yang mendalami sains dan teknologi kian bertambah. Mereka tersebar di berbagai negara, seperti Jepang, China, Inggris, Belgia, hingga Jerman. Hal tersebut merupakan kabar positif mengingat kemajuan teknologi dan agama berjalan seiring menjadi tanda mula kemajuan-kemajuan yang pernah tercatat dalam sejarah, seperti Baitul Hikmah hingga Reinassans.
"Kita bisa melihat para ulama kita bisa menyeimbangkan antara agama dan sains dan teknologi," ujar Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman M Rodlin Billah saat acara Podcast Diaspora Nusantara Edisi 2 dengan tema Santri dan Sains: Pengabdian PCINU Jerman pada Kamis (22/10).
Gus Oding, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan paradigma sains sebagai produk barat, sekular, ataupun ateis sudah bergeser. Meskipun dalam konteks yang sama, ia menegaskan bahwa kita tetap harus berakar kepada tradisi ke-NU-an, sebagaimana disebut dalam sebuah kaidah, melestarikan tradisi lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Lebih lanjut, Peneliti Institut Teknologi Karlsruhe itu mengungkapkan bahwa sejatinya mendalami sains dan teknologi merupakan wujud upaya meneruskan tradisi para ulama terdahulu. Pasalnya, kemajuan teknologi di Jerman sekalipun atau Barat secara umum itu diperoleh melalui tangan para ulama Baitul Hikmah. "Ini tidak lebih dari meneruskan tradisi para ulama kita," katanya.
Oleh karena itu, ia menyebutkan bahwa hal itu juga bisa menjadi motivasi internal sebagai modal santri untuk serius mendalami bidang sains dan teknologi. Sebab, menurutnya, motivasi internal inilah modal paling kuat agar dapat menguasai apapun sehingga apapun tantangannya, baik bahasa maupun budaya akan mampu dilaluinya. "Selama motivasi internal terjaga insyaallah tantangan apa pun bisa terjaga," ujarnya.
Banyaknya santri yang memperdalam sains dan teknologi diprediksi bakal menempati posisi strategis pada sektor penelitian di Indonesia beberapa tahun mendatang. Potensi ini sangat besar mengingat bonus demografi Indonesia juga dapat dipastikan akan dialami juga oleh NU. Ia mempercayai bahwa akan ada santri yang ahli dalam bidang nanoteknologi, autonomous driving, hingga robotika. Hal ini juga berarti kontribusi santri untuk NU dan Indonesia akan lebih besar dan signifikan lagi.
Menurutnya, sudah saatnya banyak santri yang memperdalam pengetahuannya di bidang sains dan teknologi mengingat telah banyak pula yang menjadi mubaligh dan mubalighah. "Bukan berarti kita menjauh dari apa yang disampaikan atau diajarkan masyayikh kita di pondok pesantren, tetapi justru mendekatkan tradisi masyayikh kita yang dulunya sangat giat berkecimpung dalam bidang sains dan teknologi," pungkasnya.
Sementara itu, Pengajar Deutsch als Fremdsprache Rina Agustina menjelaskan bahwa untuk dapat berkuliah di Jerman untuk strata satu atau sarjana harus menguasai bahasa Jerman tingkat C1.
Penguasaan bahasa sampai di tingkat tersebut membutuhkan waktu belajar intensif sekitar 10 bulan atau sampai satu tahun mengingat setiap level dapat dipelajari dalam waktu dua bulan, mulai dari A1, A2, B1, B2, hingga C1.
Menurutnya, bahasa Arab lebih susah ketimbang bahasa Jerman sehingga kans santri untuk menguasai bahasa tersebut sangat besar.
Adapun untuk strata dua atau program magister, calon mahasiswa yang mengambil program internasional tentu harus memenuhi persyaratan skor tes bahasa Inggris, TOEFL atau IELTS, juga rekomendasi dari profesor kampus yang dituju.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan