Nasional

Ketimpangan Kelas dan Dominasi Militerisme Jadi Persoalan Serius di Indonesia

Kamis, 9 Oktober 2025 | 06:00 WIB

Ketimpangan Kelas dan Dominasi Militerisme Jadi Persoalan Serius di Indonesia

Ketua ILPS Indonesia Helda Khasmy dalam Seminar Nasional bertema Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi yang digelar di Gedung Nusantara II, FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Ketua International League of Peoples’ Struggle (ILPS) Indonesia Helda Khasmy menyoroti ketimpangan kelas dan menguatnya militerisme di Indonesia. Ia menilai, dua hal itu kini menjadi persoalan serius yang saling berkaitan dalam situasi sosial-politik Indonesia saat ini.


Hal tersebut disampaikan dalam Seminar Nasional bertema Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi yang digelar di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025).


Helda menegaskan, kesenjangan kelas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari cengkeraman kapitalisme monopoli internasional dan imperialisme global.


Ia menyebut, kebijakan pemerintah lebih banyak mengutamakan penguatan sektor militer daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat.


“Negara lebih memilih memperkuat kekuatan militer dibanding mengatasi ketimpangan kelas sosial di dalam negeri. Anggaran besar digelontorkan untuk militer, sementara produksi kebutuhan pokok dan penghidupan rakyat tidak menjadi prioritas,” kata Helda.


“Kedamaian yang diciptakan lewat kekuatan militer itu sebenarnya adalah perang diam-diam terhadap rakyatnya sendiri. Seperti di masa Orde Baru, semua tampak damai karena kritik dibungkam,” tegasnya.


Helda juga menyinggung soal krisis ekonomi, politik, dan militer global yang kian memperburuk situasi sosial di berbagai negara, termasuk Indonesia.


Selain itu, Helda menyebut gerakan Gen Z di Indonesia yang menyoroti kesenjangan sosial sebagai inspirasi bagi gelombang perlawanan di negara-negara lain yakni Filipina, Nepal, dan Peru.


“Negara tidak hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Maka pemberontakan dan demonstrasi masif menjadi tak terhindarkan. Ini memperlihatkan krisis yang tajam, bahkan di negeri-negeri imperialis seperti Prancis,” katanya.


Helda menegaskan bahwa gejala serupa juga terjadi di tingkat global, ketika negara-negara adidaya, antara lain Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, meningkatkan anggaran militer serta mengembangkan industri senjata dan nuklir. Sementara Rusia dan Cina memperkuat kekuatan militernya melalui kerja sama Collective Security Treaty Organization (CSTO).


“Lima besar eksportir senjata dunia (yaitu) AS, Prancis, Rusia, Cina, dan Jerman menggunakan militer sebagai alat utama untuk mempertahankan kapital finans global dan dominasi mereka atas negara-negara jajahan,” tegasnya.


Helda memandang akar dari seluruh krisis dunia, termasuk kesenjangan sosial di Indonesia terletak pada sistem kapitalisme monopoli internasional yang menopang imperialisme.


“Kalau kita ingin semua krisis dan perang berakhir, maka imperialisme itu sendiri harus diakhiri. Karena sejarah menunjukkan, setiap sistem penindasan pasti memiliki akhirnya,” pungkas Helda.