Ketua BWI Harapkan Perguruan Tinggi Kembangkan Literasi Wakaf
Sabtu, 21 September 2019 | 04:15 WIB
“Mengapa anak muda?” kata Ketua Mohammad Nuh, yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, karena anak muda Indonesia memiliki tanggung jawab sosial sebagai generasi penerus kepemimpinan nasional. Apalagi, ke depan, jumlah milenial yang diprediksi mencapai 42 persen.
“Tantangan utama dalam wakaf, literasinya belum banyak, orang yang tahu wakaf juga masih belum bisa membedakan mana wakaf mana infaq. Saat saya tanya apa bedanya wakaf dan infaq, mereka jawab sama-sama baik. Itu jawabannya,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI era Presiden SBY ini saat menjadi narasumber di seminar nasional dalam Rangkaian Pleno PBNU 2019 di Pesantren Al-Muhajirin II, Cisereuh, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (20/9).
Penyebabnya, kata Ketua Dewan Pers ini, adalah literasi wakaf yang hampir tidak ada di lembaga pendidikan tempat kaum muda belajar.
“Makanya litersinya harus ada di kampus-kampus, karena dia masa depan, maka dia harus paham soal wakaf,” ucapnya.
Wakaf, lanjut penggagas Kurikulum 2013 ini, jika diibaratkan ayam adalah ayam yang tidak boleh dipotong, menunggu berkembang biak. Setelah banyak baru dibagikan ke masyarakat. Sementara infaq, itu ayam yang langsung dipotong dan dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Artinya, wakaf merupakan dana abadi yang dapat banyak membantu dan bermanfaat untuk masyarakat, bukan sekadar bantuan seseorang yang langsung dinikmati oleh penerimanya. Wakaf pertama adalah tanah Masjid Nabawi di Madinah, masjid yang menjadi kiblat seluruh umat Muslim di dunia tersebut dibangun di atas tanah wakaf.
“Wakaf pertama Masjid Nabawi, wakaf pertama ukuran 35m x 35m, dikelola sampai jadi 50m x 50m sampai sekarang. Silakan itung sendiri,” terangnya.
“Contoh lagi, dulu masyarakat Aceh yang mewakafkan tanahnya di Arab. Sampai sekarang jika orang Aceh naik haji, per orang dikasih 4 juta dari pihak masjid Arab. Itu karena wakaf dulu,” tuturnya.
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Alhafiz Kurniawan