Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) KH Abdullah Syamsul Arifin (Gus Aab) menyebutkan bahwa ada empat golongan atau orang-orang yang dirindukan oleh surga.
Pertama, orang yang membaca Al-Qur’an. Dikatakan Gus Aab, kebanyakan umat Islam memperlakukan Al-Qur’an baru sekadar membacanya. Padahal Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk jika dibaca lafadznya dengan baik dan benar, serta dipahami makna dan diamalkan isinya.
“Rasulullah menyebutkan, Al-Qur’an ini adalah hidangan dari Allah maka terimalah hidangan itu semampu kalian. Tegasnya, yang bisa membaca Al-Qur’an bacalah dengan baik dan benar, sesuai dengan kaidah tilawah,” ungkap Gus Aab dalam tayangan di TVNU, diakses NU Online, pada Kamis (21/4/2022).
Ia lantas mengajak umat Islam agar tidak hanya berhenti pada membaca Al-Qur’an tetapi harus ada upaya mengkaji dan memahaminya. Setelah itu, umat Islam juga perlu untuk mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an.
“Karena hanya dengan cara itu, Al-Qur’an benar-benar bisa menjadi hidayah. Al-Qur’an juga bisa menjadi obat apabila kandungan maknanya telah memberikan solusi terhadap problematika kehidupan yang sedang dihadapi,” katanya.
Meski begitu, orang yang hanya membaca Al-Qur’an pun sudah tergolong sebagai orang-orang yang dirindukan surga. Lebih-lebih jika umat Islam juga mampu memahami, mengkaji, dan mengamalkan Al-Qur’an.
Kedua, orang yang berpuasa di bulan Ramadhan adalah satu golongan yang akan dirindukan oleh surga. Namun, Gus Aab menegaskan bahwa puasa Ramadhan yang menjadikan pelakunya sebagai orang yang dirindukan oleh surga bukanlah puasa yang sekadar menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan dengan istri atau suami.
“Tetapi puasa dengan makna yang lebih dalam, yaitu al-imsak anjami’il jawarih ‘anidz-dzunubi wal atsam, menghindarkan seluruh anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan kepada Allah,” terangnya.
Solidaritas sosial
Puasa Ramadhan yang menahan lapar dan haus itu pun harus menumbuhkan kepekaan dan solidaritas sosial yang tinggi. Kemudian ditindaklanjuti dengan aksi-aksi sosial seperti berbagi dengan kaum dhuafa atau orang-orang yang dalam keadaan kurang baik.
Ketiga, orang yang memberi makan kepada orang-orang yang lapar. Namun yang dimaksud bukan hanya soal memberikan makan. Lebih jauh, hal ini bisa dimaknai sebagai upaya melakukan kepekaan sosial untuk berbagi dengan orang lain dan berkenan menyelesaikan problematika yang sedang dihadapi.
“Kalau yang mereka butuhkan makan, maka berikan makan agar mereka tidak kelaparan. Tapi kalau yang mereka butuhkan sandang dan papan, tentu ini juga harus kita aktualisasikan. Tidak hanya memberikan makan kepada orang yang lapar, tetapi memberikan pakaian kepada orang yang telanjang dan memberikan tempat tinggal kepada orang-orang yang tunawisma,” ajaknya.
Keempat, orang yang menjaga lisan. Gus Aab menjelaskan bahwa lisan memiliki bentuk yang kecil tetapi dapat berakibat yang luar biasa. Lisan yang tidak terjaga bisa menjadikan masyarakat atau umat yang berada pada ketenangan bisa menjadi porak-poranda, karena menebarkan fitnah sehingga dapat menimbulkan pertikaian bahkan peperangan.
“Lisan yang tidak terkontrol, bisa membinasakan ribuan bahkan jutaan umat manusia, menghancurkan kehidupan dan merusak peradaban. Betapa pentingnya menjaga lisan agar tidak menimbulkan kerusakan dalam kehidupan keumatan,” tegasnya.
Ia mengutip hadits Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah maka hendaklah berkata yang baik atau diam. Lebih lanjut, Gus Aab mengutip ungkapan Imam al-Ghazali yang menganalogikan manusia seperti botol.
Apabila botol tersebut berisi air maka saat dituangkan akan keluar air. Begitu pula jika di dalamnya berisi kopi, maka yang keluar adalah kopi. Tetapi manakala botol tersebut berisi air maka ketika dituangkan akan keluar air comberan.
“Dari situlah hati-hati dengan lisan. Karena pepatah mengatakan, perkataan seseorang adalah gambaran dari apa yang ada dalam hatinya, karena lisan hanya dijadikan pertanda untuk menunjukkan jati dirinya. Mudah-mudahan kita semua tergolong dari empat golongan yang selalu dirindukan oleh surganya Allah,” pungkas Gus Aab.
Kunci utama pintu surga
Dalam sebuah artikel yang pernah diterbitkan NU Online, disebutkan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi kunci utama pintu surga.
Pertama, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Hal ini menjadi dasar pertama yang menentukan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Tanpa amal batiniah yang disebut tauhid ini semua amal kebaikan manusia tidak ada artinya dalam kaitannya dengan keselamatan di akhirat.
Seseorang tidak akan masuk surga karena hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bersaksi dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya. Jadi iman tauhid merupakan fondasi dari semua amal manusia.
Kedua, menegakkan shalat. Shalat memiliki pengaruh kuat terhadap amal-amal seseorang di luar shalat. Jika shalatnya baik, maka baiklah seluruh amal lainnya. Artinya jika shalat dikerjakan dengan baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum dan adab yang berlaku, tentulah shalatnya akan diterima oleh Allah.
Jika shalatnya buruk, maka seluruh amal lainnya juga buruk. Artinya jika seseorang selalu berperilaku buruk dalam kehidupan sehari-harinya bisa jadi karena shalatnya memang buruk.
Kemungkinan lain, seseorang sudah menjalankan shalat tetapi cara melaksanakannya tidak sesuai dengan syarat, rukun, dan adab yang berlaku sehingga shalatnya tidak berpengaruh positif terhadap perilakunya. Adab-adab shalat antara lain adalah: tidak menunda-nunda, ikhlas, selalu ingat Allah dan penuh penghayatan atau khusyuk.
Ketiga, mencintai fakir miskin. Hal ini menjadi kunci utama masuk surga karena mewakili ibadah sosial dalam ranah akhlak. Al-Qur’an dalam Surat Al-Ma’un ayat 1-3 menyebut orang-orang yang tidak peduli terhadap anak yatim dan fakir-miskin sebagai para pendusta agama.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori