Ketua PP MDS-Rijalul Ansor Serukan Santri Berdakwah dengan Percaya Diri
Selasa, 23 Desember 2025 | 13:30 WIB
Ketua PP MDS Rijalul Ansor KH Mahrus Iskandar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jakarta, Senin (22/12/2025). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Asshiddiqiyah Official)
Jakarta, NU Online
Ketua Pimpinan Pusat Majelis Dzikir dan Shalawat (MDS) Rijalul Ansor KH Mahrus Iskandar mengajak kaum santri untuk berdakwah dengan percaya diri. Sikap ini diperlukan di tengah arus digital yang cenderung memukul rata segala hal.
Ia mengatakan percaya diri lahir dari kecakapan ilmu. Dengan itu, seseorang tak perlu gelisah terhadap komentar orang lain yang tak diketahui sepenuhnya. Mereka yang berilmu hanya perlu menjelaskan jika diberi kesempatan.
Ia menilai, fenomena ini kerap bergema di ruang digital. Hal ini menambah tantangan bagi perjalanan dakwah. Oleh karenanya, perubahan ini harus disikapi dengan kesiapan mental dan cara pandang khas pesantren.
"Jadi santri itu mentalnya harus mental kuat, mentalnya mental pejuang," tegasnya saat Halaqah Dai & Kiai Muda Nasional di Pondok Pesantren As-Shiddiqiyah, Jakarta, Senin (22/12/2025) malam.
Baca Juga
Lima Pendekatan Dakwah Wali Songo
Sebelumnya, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Basnang Said menyampaikan tiga fungsi pesantren yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 ada tiga, yakni fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, ketiga fungsi tersebut sebetulnya sudah ada dalam perjalanan pesantren sebelum diterbitkan undang-undang.
Kendati demikian, lanjutnya, masih banyak pesantren yang cukup tertinggal sehingga perlu kehadiran dari pemerintah untuk mendorongnya.
"Inilah kemudian Kementerian Agama mencoba melakukan pergerakan-pergerakan untuk kembali membawa pesantren agar melakukan transformasi-transformasi," ujar Basnang.
Ia beranggapan bahwa alumni pendidikan tinggi di pesantren (ma'had aly) paling cocok menempati profesi bidang agama, mulai dari guru, dosen, penghulu hingga penyuluh. Sebab, secara substansi keilmuan dinilai lebih mumpuni.
"UIN sekarang adalah pasar. Siapa saja boleh masuk ke dalam pasar tanpa kemudian pernah ditanya, dapat duit, punya duit atau tidak," terang alumnus UIN Alauddin Makassar itu.
"Akhirnya kemudian dalam kampus bernama UIN berkumpullah lulusan Madrasah Aliyah, SMK, kemudian SMA dan tingkat ulya pada pondok pesantren Salafiyah. Akhirnya dalam satu kelas Prodi PAI bertemulah orang dengan berbagai latar belakang keilmuan," tandas Basnang.