Ketum PBNU: Dalam Sejarah NU Tidak Pernah Minta dan Merebut Jabatan
Jumat, 11 Agustus 2023 | 17:00 WIB
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat memberikan sambutan pada Nahdlatul Ulama Health Summit atau Rakernas LKNU di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (11/8/2023). (Foto: istimewa)
Semarang, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf memastikan PBNU akan selalu istiqamah memperjuangkan kepentingan agama, bangsa dan dunia, bukan sekadar kepentingan organisasi apalagi kepentingan orang perorang di PBNU.
“NU dari dulu tidak pernah minta (jabatan). Dari dulu, kiai kita ndak pernah nyodor-nyodorkan untuk merebut jabatan,” kata kiai yang akrab disapa Gus Yahya itu saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) di Semarang, Jawa Tengah Jumat (11/8/2023).
Sejak awal kemerdekaan, NU tidak pernah mementingkan golongan apalagi keluarga. Bahkan ada sebuah cerita di detik-detik kemerdekaan yang menunjukkan bahwa NU selalu mementingkan bangsa dan negara. Hal ini terbukti dengan cerita Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari yang tidak mendorong putranya, KH Wahid Hasyim, sebagai seorang presiden, tetapi justru Sukarno yang dipilih.
“Dulu itu menjelang kemerdekaan RI, di tengah intensnya pergulatan persiapan kemerdekaan dengan PPKI dan BPUPKI di mana di situ KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) putra Hadratusyekh KH Hasyim Asyari menjadi salah seorang tokoh utama panitia 9,” kata Gus Yahya.
“Pada saat itu ada seorang perwira Jepang namanya Naobuharo Ono. Dia ini seorang muslim alias Abdul Hamid. Dia ini nanya pada Hadratussyekh. Kiai kalau nanti Indonesia sudah merdeka betul siapa menurut Kiai yang pantas memimpin negara yang baru lahir ini?” lanjut Gus Yahya.
Saat ditanya Naobuharo Ono, kata Gus Yahya, “Kiai Hasyim dengan tanpa ragu-ragu menjawab Insinyur Soekarno. Padahal putranya sendiri ini (KH Wahid Yasyim) tokoh utama. Kenapa ndak disebut ya kalau bisa Wahid Hasyim. Beliau dengan tanpa ragu menyebut Insinyur Sukarno”.
Ketegasan Hadratussyekh ini, murni karena melihat yang terbaik untuk memimpin Indonesia pada waktu itu adalah Ir Sukarno.
“Maka NU harus selalu berfikir tentang apa yang terbaik di bangsa dan negara ini bukan untuk NU sendiri. Kita tidak peduli dari mana asalnya yang penting yang terbaik untuk bangsa dan negara,” kata Gus Yahya.