KH Abdullah bin Nuh, Ulama Penyair dan Penyiar Kemerdekaan Indonesia
Selasa, 14 Januari 2020 | 04:30 WIB
Para dosen Fakultas Islam Nusantara Unusia tengah berdoa di pusara KH R Abdullah bin Nuh di Pondok Pesantren Al-Ghazali, Bogor, Jawa Barat, Senin (13/1). (Foto: NU Online/Syakir NF)
Saat para pengajar Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) sowan ke Pondok Pesantren Al-Ghazali, Bogor, Jawa Barat yang didirikan olehnya pada Senin (13/1), pengurus pondok langsung menyodorkan dua peti manuskrip karya-karyanya.
Turmudzi, Pengurus Pondok Al-Ghazali, menyampaikan bahwa Diwan Ibn Nuh yang ditulis oleh KH Abdullah bin Nuh terdiri dari 8000 bait. Kepiawaiannya menulis syair-syair berbahasa Arab itu diperolehnya sejak kecil.
"Usia 13 tahun juara puisi Arab di Mesir," katanya sembari menunjukkan kitab kumpulan puisinya tersebut.
Penulis Mahakarya Ulama Nusantara Ahmad Ginanjar Sya'ban menuturkan bahwa puisi-puisi Kiai Abdullah berisi tentang keindahan alam Tatar Sunda. Tak ayal, hal itu membuat bangsa Arab tertarik untuk berkunjung ke daerah asalnya itu.
Pernah suatu ketika, jelasnya, ada orang Arab yang hendak menemuinya. Ia mengira Kiai Abdullah adalah orang Arab mengingat syair-syairnya yang begitu puitis dan sarat makna.
Selain itu, puisi-puisi berima rojaz itu juga berisi tentang tokoh-tokoh dan institusi pendidikan di Tanah Arab. Ginanjar dalam kesempatan tersebut mendeklamasikan puisi tentang Al-Azhar Al-Syarif, sebuah institusi pendidikan penting yang berlokasi di Kairo, Mesir.
Syair-syair ulama yang begitu menggemari Imam Al-Ghazali itu juga berisi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sosoknya juga dikenal sebagai pejuang yang menyiarkan kemerdekaan Indonesia ke Timur Tengah melalui radio. Dengan kemahirannya dalam berbahasa Arab, ia menerjemahkan berita tersebut ke bahasa Arab.
Tidak saja bahasa Arab, Turmudzi juga mengatakan bahwa Kiai Abdullah adalah seorang poliglot karena mampu berbicara sembilan bahasa.
Kiai Abdullah merupakan ulama yang produktif menulis. Masih banyak karyanya dalam bentuk manuskrip yang belum tersentuh penelitian dan belum dicetak.
Dalam sebuah karyanya, Ngatawi Al-Zastrouw membacakan bahwa kiai yang lahir di Cianjur pada 30 Juni 1905 itu menyatakan Pancasila sebagai jalan tengah di tengah liberalisme dan sosialisme.
Di samping itu, masih banyak karya lainnya, seperti terjemah Ihya Ulumiddin, Ana Muslim Ana Sunni Ana Syafi'i, Al-Tarikh Al-Islami dan Imam Al-Muhajir yang ditulisnya bersama Muhammad Dhiya Syahab, hingga sebuah tulisan yang berisi komentarnya atas pemikiran-pemikiran Barat.
Kiai Abdullah bin Nuh wafat pada 26 Oktober 1987 di Bogor dan dimakamkan di Cianjur berdampingan dengan ayahnya, KH R Muhammad Nuh.
Namun, ketika istrinya meninggal pada tahun 2012, jasadnya dipindahkan dari Cianjur ke Bogor di dalam komplek Pondok Pesantren Al-Ghazali. Meski sudah 25 tahun dikebumikan, jasadnya masih utuh kata Turmudzi yang mengaku turut memindahkan secara langsung.
Pewarta: Syakir NF