KH Achmad Chalwani: Peringatan Maulid Pertama Kali Dilakukan oleh Nabi Sendiri
Selasa, 3 September 2024 | 21:00 WIB
Kiai Chalwani saat menyampaikan ceramah dalam acara Maulidur Rasulullah dan Haul Syekh Abdul Qadir Al-Jilani di Pondok Pesantren Siraajul Ummah, Desa Karang Rahayu, Kecamatan Karang Bahagia, Kabupaten Bekasi, Selasa (3/9/2024). (Foto: dok. Pesantren Siraajul Ummah)
Bekasi, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Purworejo, Jawa Tengah, KH Achmad Chalwani Nawawi, mengungkap bahwa di dalam sejarah, yang pertama kali memperingati maulid Nabi adalah Nabi Muhammad sendiri.
“Di dalam sejarah, yang pertama-tama memperingati kelahiran Nabi adalah Nabi sendiri, bukan yang lain,” ungkapnya, dalam acara Maulidur Rasulullah dan Haul Syekh Abdul Qadir Al-Jilani di Pondok Pesantren Siraajul Ummah, Desa Karang Rahayu, Kecamatan Karang Bahagia, Kabupaten Bekasi, Selasa (3/9/2024).
Dalam hadits dikatakan, lanjut Kiai Chalwani, Nabi tiap hari Senin berpuasa. Ada yang tanya, “Nabi, kok tiap Senin puasa? Nabi menjawab, fihi wulidtu, Senin itu kelahiranku, kata Nabi,” jelasnya, mengutip hadits yang tertera dalam Kitab Sahih Muslim Nomor 1162.
Oleh karena Nabi Muhammad setiap pekan memperingati kelahirannya dengan cara berpuasa, maka menurut Kiai Chalwani, peringatan kelahiran itu merupakan sunnah atau perilaku Nabi.
Mursyid Tarekat Qadiriyah/Naqsabandiyah itu menegaskan bahwa memperingati kelahiran Nabi adalah sesuatu yang baik.
“Memperingati kelahiran jenengan sendiri juga boleh kok. Boleh, enggak apa-apa. Memperingati kelahiran negara juga boleh: HUT Proklamasi. Meringatinya pakai apa? Apa saja yang dapat ridha Allah,” terangnya.
Ia mencontohkan, memperingati kelahiran Nabi boleh dengan berpuasa, infak, dan bahkan menolong orang lain.
“Ibu lahirnya hari Ahad. Tiap Ahad diperingati dengan cara menutup utang orang lain. Boleh,” kata Kiai Chalwani, diikuti tawa ibu-ibu yang hadir di pengajian.
Peringatan maulid Nabi secara terbuka
Lebih lanjut, Kiai Chalwani menceritakan bahwa peringatan kelahiran Nabi yang berbentuk pengajian akbar pertama kali dilaksanakan oleh seorang raja dari Irbili, daerah dekat Baghdad, bernama Syekh Sultan Mudhaffar.
Sultan Mudhaffar waktu itu melihat kerajaan Irbili terjadi krisis yang berkepanjangan di semua sektor kehidupan manusia.
“Ekonomi tidak tertata, pertanian tidak tertata, pemerintahan tidak tertata, terjadi krisis,” ungkapnya.
Kemudian Sultan punya gagasan mengadakan peringatan hari lahir Nabi, dengan harapan sesudahnya akan tercipta ekonomi, pertanian, dan pemerintahan yang tertata.
“Diadakanlah peringatan Maulid Nabi, tidak kepalang tanggung, tujuh hari tujuh malam,” ujar Kiai Chalwani. Selama tujuh hari itu, sang raja mengadakan aneka hiburan dan lomba-lomba.
Pada hari terakhir, hari ketujuh, diadakan pengajian akbar yang berlangsung mulai habis shalat Dzuhur sampai pukul 04.00 pagi, dengan mengundang mubaligh atau pembicara dari Maghribi (Maroko), Afrika, yakni Syekh Abul Khattab Ali bin Muhammad, atau dikenal dengan Ibnu Dihyah Al-Kalbi (w. 633 H).
“Maulid Nabi berlangsung di Baghdad, daerahnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Qadasallahu Sirrahul Aziz, mengundang mubaligh dari Magribi, Afrika, daerahnya Syekh Ali Abul Hasan As-Syadzili radhiallahu anhu,” ujar Kiai Chalwani, menekankan jarak yang jauh.
Wakil Rais NU Jawa Tengah itu mengungkapkan, Syekh Abul Khattab Ibnu Dihyah di dalam menyampaikan pengajian memakai Kitab At-Tanwir fi Maulidil Basyirin Nadzir.
“Barangkali kalau sekarang baca Al-Barzanji,” ujarnya.
Tidak ketinggalan, di malam hari ketujuh itu grup hadrah se-Kerajaan Irbili dikumpulkan untuk meramaikan Maulid Nabi. Syekh Abul Khattab Ibnu Dihyah, di tengah-tengah membaca sejarah Maulid ini, bershalawat memakai lagu, diiringi grup hadrah.
Semua yang hadir diberi jamuan oleh Sultan berupa 3000 makanan ringan dengan roti bermentega dalam nampan, 100.000 telur, memotong 5.000 ekor kambing, 10.000 ayam, dan 100 ekor kuda. Hewan-hewan itu dipotong untuk meramaikan maulid Nabi sebagai jamuan pengunjung.
“Pak Kiai Nurhayadi kalau tahun depan potong kuda enggak apa-apa,” ujar Kiai Chalwani. “Ada lima kudanya,” jawab sang tuan rumah, yang duduk di sebelah kiri pembicara.
Sesudah maulid Nabi itu, lanjut Kiai Chalwani, sektor ekonomi, pertanian, dan pendidikan di Kerajaan Irbili menjadi tertata.
“Semua sektor tertata, berkah peringatan maulid Nabi. Itu sejarah,” terangnya.
Pernyataan bahwa orang pertama yang mengadakan seremonial perayaan maulid adalah Sultan Mudhaffar itu merupakan pendapat Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawi.
Di dalam Ensiklopedi Britanicca juga terdapat informasi yang sama.
“Sunni, yang merupakan cabang utama Islam, menganggap perayaan maulid yang diadakan pada tahun 1207 sebagai festival maulid pertama. Acara tersebut diselenggarakan oleh Muẓaffar al-Dīn Gökburi, saudara ipar Sultan Ayyūbid Saladin, di Erbil, dekat Mosul (Irak). Bentuknya sangat mirip dengan maulid modern,” tulis ensiklopedia tertua di dunia yang masih terbit itu.
Kemudian, seiring waktu, peringatan Maulid Nabi di Irbili itu dicontoh negara-negara lain, seperti Mesir, Madinah, hingga Indonesia.
Peringatan maulid Nabi pertama kali di Indonesia
Menurut Kiai Chalwani, peringatan maulid Nabi pertama di Indonesia berlangsung di Kesultanan Perlak (Peureulak), Samudra Pasai, Aceh.
“Kalau di Jawa, pertama kali berlangsung di Demak, yang mengadakan Sultan Demak. Nama aslinya Syekh Alam Akbar Jumbun Sirullah Raden Patah Sultan Demak Bintoro, kelahiran Palembang,” ujarnya.
Pada peringatan maulid Nabi pertama di Kesultanan Demak, lanjut Kiai Chalwani, wali-wali yang sepuh membaca doa, sedangkan mubalighnya adalah Sunan kalijaga.
“Ada hiburannya, namanya ringgit wacucal wayang kulit. Maka namanya wayang, Sunan Kalijaga juga bilang, wayang itu singkatan wajib sembahyang, gitu lho. Maka orang yang rajin nonton wayang kok enggak pernah shalat, jelas dia enggak ngerti sejarah wayang,” ujarnya, diikuti tawa hadirin.
Sunan kalijaga, lanjut Kiai Chalwani, di tengah-tengah membaca sejarah Nabi, membaca syahadat memakai lagu, diiringi gamelan wayang. Setelah selesai peringatan maulid Nabi pertama di Kesultanan Demak itu, masyarakat Tanah Jawa berbondong-bondong masuk Islam.
“Islam berkembang di Jawa karena ada peringatan maulid Nabi. Maka kalau ada orang yang enggak suka sama Maulid nabi, itu enggak suka sama perkembangan Islam,” katanya.
Sebelumnya, Pengasuh Pondok Pesantren Siraajul Ummah KH Nurhayadi Dju’an An-Nadawy dalam sambutannya berharap doa dari para ulama dan hadirin, agar segala hajat dari semua yang hadir di majelis itu dikabulkan oleh Allah.
“Kami dari shahibul bait, sekali lagi, mohon maaf lahir dan batin apabila dalam penyambutan, dalam penyajian, tegur sapa, dan segala hal yang mungkin kelepatan, bisa diampuni dan dimaafkan,” ujarnya.
“Itu saja, karena saya yakin hadirnya kita hari ini semata-mata ingin mendengarkan taujihat, nasihat, dan doa dari guru kita Rama Kiai Achmad Chalwani,” pungkasnya.