KH Ahsin Sakho Ungkap Alasan Hafsh Jadi Bacaan Al-Qur’an Terpopuler di Indonesia
Selasa, 12 September 2023 | 07:00 WIB
Rais Majelis Ilmi Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) KH Ahsin Sakho Muhammad. (Foto: NU Online/Syakir)
Jakarta, NU Online
Al-Qur’an memiliki tujuh macam bacaan yang dikenal dengan Qiraat Sab’ah. Tujuh ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yang menyebut tujuh macam bacaan tersebut. Namun, di Indonesia, ada satu riwayat bacaan yang paling dikenal dan umum diajarkan di masyarakat, yakni riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Bacaan tersebut lebih dikenal di Indonesia dibandingkan dengan ragam bacaan Al-Qur’an lainnya disebabkan empat alasan.
Rais Majelis Ilmi Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) KH Ahsin Sakho Muhammad mengungkapkan hal itu saat ditemui NU Online di tengah penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional Ke-9 dan MTQ Internasional Ke-3 di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Rabu (6/9/2023) lalu.
Pertama, Kiai Ahsin menegaskan bahwa bacaan yang diajarkan para kiai dan ulama Al-Qur’an sejak dahulu adalah riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Karenanya, turun ke bawah, diajarkan ke santri dan murid-muridnya juga riwayat bacaan yang sama.
“Di Indonesia kenapa (banyak) Hafsh, ya karena guru-gurunya mengajarkan Hafsh,” terang Kiai Ahsin.
Kedua, Imam Hafsh merupakan sosok ulama yang dikenal di seantero Arab. Pasalnya, ia kerap berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain.
“Hafsh itu orangnya terkenal seantero negeri Arab saat itu karena berpindah dari satu tempat ke tempat lain,” jelas ulama Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an Kebon Baru, Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat itu.
Ketiga, lanjut Kiai Ahsin, bacaan Al-Qur’an dengan riwayat Hafsh ini tidak terlalu beragam bagi masyarakat Indonesia. Hal ini cenderung lebih mudah bacaannya ketimbang bacaan riwayat lainnya.
“Karakteristiknya juga tidak macam-macam,” kata kiai yang akrab disapa Walid itu.
Ia menyebut sejumlah bacaan gharib yang dapat dihitung saja, seperti imalah yang hanya sekali pada Surat Hud ayat 41 dan tashil bayna bayna itu hanya pada Surat Fusshilat ayat 44. Perihal hukum bacaan hamzah juga semuanya muhaqqaq.
“Akhirnya orang yang non-Arab pun gampang membaca Hafsh,” terang dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Keempat, menurutnya, ada hubungannya juga persebaran riwayat Hafsh ini dengan dunia politik. Pada pemerintahan Turki Utsmani, menerbitkan Mushaf. Mereka mengumpulkan ulama dan menyepakati agar mushaf yang dicetak adalah riwayat Hafsh.
“Akhirnya ditetapkanlah mushaf Al-Qur’an yang mau dicetak adalah riwayat Hafsh ‘an ‘Ashim,” ujarnya.