Jakarta, NU Online
Kementerian Agama, majelis ulama, perwakilan ormas Islam, jamaah tarekat, dan ahli astronomi masih perlu mengadakan serangkaian pertemuan untuk mencari titik temu dalam mengatasi perbedaan penetapan awal bulan qamariyah atau hijriyah.<>
Serangkaian pertemuan mengarah pada satu titik, yakni kriteria imkanurrukyat. Beberapa pihak berharap kriteria imkanurrukyat atau visibilitas pengamatan ini menjadi solusi dalam mengakhiri perbedaan penetapan awal bulan yang terjadi sekian lama.
Namun Ketua Lajnah Falakiyah PBNU menegaskan, kriteria belum bisa menjadi titik temu. “Imkanurrukyat itu bukan solusi untuk mengatasi perbedaan,” kata Kiai Ghazali kepada NU Online pertelepon, Jum’at (27/9).
Secara sederhana imkanurrukyat dapat dijelaskan sebagai hasil perhitungan atau hisab tertentu, dimana pada kondisi itu hilal atau bulan sabit pertanda awal bulan sudah mungkin untuk dilihat. Sehingga ada yang berharap, kriteria ini bisa mendamaikan “kubu” hisab dan rukyat.
“Namun imkarurrukyah mana yang dipilih?” kata Kiai Ghazalie. Ada beberapa versi mengenai imkanurrukyat, versi MABIMS, organisasi Persis, ahli astronomi LAPAN dan jamaah tarekat.
Selain itu yang paling prinsipil, kata Kiai Ghazalie, kriteria imkanurrukyat itu bukanlah rukyat, tetapi hisab. Sementara penetapan awal bulan qamariyah menurut NU harus berdasar pada rukyat.
Menurut Kiai Ghazalie, pertemuan antar ormas dalam mencari titik temu penetapan awal bulan harus dimulai dengan memahami kembali beberapa nash Al-Qur’an dan hadits terkait hal ini.
“Dan karena Al-Qur’an dan hadits itu dari bahasa Arab, harus ditafsirkan sesuai dengan kaidah bahasa Arab,” kata Kiai Ghazalie.
Berbagai pihak, tambahnya, juga perlu merenungkan kembali ihwal kemunculan ilmu astronomi atau ilmu falak dan fungsinya dalam proses penetapan awal bulan qamariyah. (A. Khoirul Anam)