KH Luqman Hakim: Hajat Manusia Tak Terhitung, Allah Selalu Mencukupi
Senin, 5 Juli 2021 | 18:00 WIB
Pengasuh Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat KH Luqman Hakim. (Foto: SufiNews Official)
Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat KH Luqman Hakim menjelaskan bahwa hajat atau kebutuhan manusia di dunia, sama sekali tidak bisa terhitung. Meski begitu, Allah akan selalu memberikan atau mencukupi segala kebutuhan manusia.
Dijelaskan, sejak zaman azali manusia memang memiliki sifat butuh sehingga terus-menerus berhajat atau memiliki hasrat untuk selalu memenuhi kebutuhannya. Kiai Luqman menegaskan bahwa Allah-lah sebenarnya yang memberikan sifat butuh kepada manusia tetapi Dia juga yang tahu dan mencukupi kebutuhan seorang hamba.
“Maka Ibnu Athaillah mengingatkan, janganlah niat dan hasratmu itu kamu sampaikan kepada selain Allah. Karena Allah itu Al-Karim, Maha Pemurah dan Yang Mahamurah itu tidak akan pernah terjangkau oleh angan-angan, kriteria, imajinasi, ukuran. Jadi, Allah tak terbatas. Sejak zaman azali sampai zaman abadi tidak terbatas,” jelas Kiai Luqman dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), Senin (5/7).
Sifat ketidakterbatasan yang dimiliki Allah itu seharusnya membuat manusia enggan beralih atau menengok kepada selain-Nya. Sebab Allah akan hadir di saat seseorang sedang merasa memiliki kebutuhan atau hajat apa pun, baik untuk kepentingan hidup di dunia maupun akhirat.
Kiai Luqman menjelaskan bahwa sifat Allah yang Mahamurah dan tidak terbatas itu memiliki makna bahwa ketika diminta akan langsung memberi. Ketidakterbatasan Allah itu yang membuat-Nya sama tidak peduli terhadap besaran yang akan diberikan kepada manusia.
“Mungkin permintaan seorang hamba hanya 10 ternyata diberi 100 oleh Allah. Atau sebaliknya, sang hamba minta 100 tapi hanya diberi 10. Itu artinya Allah tidak peduli berapa jumlah yang Dia beri. Itu tanda-tanda Mahamurah sehingga pemberiannya pas, sesuai, senyawa, dan layak,” terang Kiai Luqman.
Selain itu, Allah juga tidak peduli akan memberi atau mencukupi kebutuhan siapa. Saat memberi, Allah tidak memandang latar belakang seseorang. Siapa pun dan berapa pun, pasti akan diberi nikmat sehingga kebutuhannya tercukupi. Bahkan, Allah akan memberi sebelum diminta.
“Tapi kenapa kita diperintahkan untuk berdoa, meminta, dan memohon? Itu semuanya semata-mata agar seorang hamba dapat mewujudkan kehambaannya di hadapan Allah. Dengan meminta itu kan berarti seluruh sifat fakir, hina, tak berdaya, dan ketidakmampuan kita muncul,” katanya.
Sementara itu, Allah tidak akan meridhai seorang hamba yang menyampaikan permohonan agar segala kebutuhan tercukupi kepada selain-Nya. Padahal, pihak lain yang diminta agar mencukupi kebutuhan itu pun memiliki sifat sangat butuh karena harus menyelesaikan kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang lain.
“Maka janganlah melaporkan atau menyampaikan kebutuhanmu kepada selain Allah, karena Allah-lah yang mendatangkan kebutuhan. Karena kita ini butuh Allah, sifat butuh harus tetap dipelihara dan jangan sampai abai atau lalai sehingga merasa tidak butuh kepada Allah,” ujar Kiai Luqman.
Syekh Abu Hasan As-Syadzili pernah merasa putus asa karena tidak mampu memberi manfaat kepada dirinya sendiri. Ia juga merasa tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Akhirnya, ia sadar bahwa tempat memohon dan berharap hanya Allah semata.
“Aku putus asa memberi manfaat kepada diriku untuk diriku. Aku tidak mampu memberi kebutuhanku untuk diriku sendiri. Bagaimana aku tidak putus asa memberi manfaat kepada selain diriku dan aku berharap kepada Allah untuk selain diriku? Bagaimana aku tidak memohon untukku kebutuhanku?” kata Syekh Abu Hasan As-Syadzili, diucapkan oleh Kiai Luqman.
Ditegaskan, manusia tidak akan mampu menyelesaikan kebutuhannya sendiri. Namun terkadang, seseorang merasa sombong karena berhasil mencukupi masalah kebutuhan berkat jerih-payahnya sendiri.
“Jangankan soal seluruh tubuh kita. Misalnya hidung kita sakit, kita kan tidak bisa menyembuhkan. Ini baru soal hidung, belum lagi soal mata, telinga, saraf-saraf, atau darah yang mengalir. Jadi kita tidak bisa menyelesaikan masalah kita sendiri, apalagi menyelesaikan masalah orang lain,” ujarnya.
Meski demikian, Kiai Luqman tetap menganjurkan agar umat Islam mampu memberi manfaat kepada orang lain. Sebab, itulah kewajiban sebagaimana anjuran Nabi Muhammad untuk senantiasa bermanfaat bagi manusia lain.
“Tapi harus bersama Allah. Orang yang tidak bersama Allah sesungguhnya dia tidak bisa memberikan manfaat yang hakiki kepada orang lain. Jadi ini menunjukkan supaya kita tidak mengandalkan diri kita kepada selain Allah,” tegasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan