KH Miftachul Akhyar Ungkap Teladan Persaudaraan Para Sahabat Nabi
Ahad, 24 Oktober 2021 | 08:00 WIB
Jakarta, NU Online
Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengisahkan kisah persaudaraan pada masa sahabat Nabi Muhammad saat peristiwa perang Yarmuk. Menurutnya, ikatan persaudaraan antara sahabat Nabi begitu kuat, sampai rela mendahulukan keselamatan nyawa orang lain daripada dirinya.
“Dikisahkan saat perang Yarmuk, ada sahabat bernama Abu Jahm bin Abu Hudzaifah. Saat perang telah selesai dan para sahabat sedang rehat, Abu Jahm mencari-cari saudara sepupunya. Ia khawatir, jangan-jangan saudaranya terbunuh di medan perang atau terluka parah,” terang Kiai Miftach mengawali kisahnya pada dalam siaran di TVNU seperti dikutip NU Online, Ahad (24/10/2021).
Abu Jahm pun membawa ceret berisi air untuk diberikan kepada saudaranya. Kebetulan cuaca sedang sangat terik. Setelah ia mencari di antara para tentara yang gugur, ia mendengar rintihan suara. Curiga itu suara saudaranya, ia pun menghampiri. Benar saja, itu adalah orang yang ia cari.
Ketika Abu Jahm hendak memberi minum sahabatnya yang dalam kondisi terluka parah, terdengar suara rintihan dari jarak kurang lebih seratus meter. Saudara Abu Jahm pun berisyarat agar Abu Jahm menemui sumber suara, padahal saudaranya itu sangat membutuhkan air.
“Karena ini perintah, Abu Jahm pun menuruti saudaranya,” jelas ulama kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu.
Abu Jahm menemui orang yang merintih tadi. Ternyata dia adalah Hisyam bin ‘Ash, saudara dari Amr bin ‘Ash. Kondisinya terluka parah dan kehausan. Ketika hendak diberi minum, tiba-tiba terdengar lagi suara rintihan sekitar jarak seratus meter.
“Hisyam bin ‘Ash memberi isyarat agar Abu Jahm menemui sumber suara dan menolongnya. Abu Jahm pun menemui sosok di sumber suara itu. Begitu sampai di sana, Abu Jahm mendapatinya sudah meninggal,” terang Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachus Sunnah, Surabaya itu.
Kembalilah Abu Jahm ke tempat Hisyam. Tapi begitu sampai, Hisyam sudah meninggal dunia. Lalu kembalilah Abu Jahm menemui saudara sepupunya. Seperti yang sudah diduga, begitu sampai, saudara juga sudah meninggal.
“Tiga-tiganya meninggal, tanpa sempat satu pun meminum air,” kata Kiai Miftach.
Kiai Miftach menutup kisah ini dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 9 yang artinya, ‘Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.’
Hubungan Muslim dangan non-Muslim
Pada kesempatan itu, selain mengisahkan relasi Muslim dengan sesama Muslim, Kiai Mifatch juga mangisahkan relasi Muslim dengan non-Muslim. Dikisahkan, saat Rasulullah saw wafat, sempat terjadi kegaduhan karena baju perang milik Rasulullah hilang. Padahal baju itu selalu Rasulullah pakai ketika di medan perang, banyak kenangan penting di baju itu.
“Setelah dicari-cari, diketahui bahwa baju perang itu ada di sebuah pegadaian milik seorang Yahudi,” ujar Kiai Miftach.
Turunlah Sahabat Ali untuk menyelesaikan perkara. Pertanyaannya, mengapa Rasulullah sampai menggadaikan baju perangnya, kepada orang Yahudi lagi. Padahal sahabat-sahabatnya banyak yang kaya. “Jangankan uang, andaikan Rasulullah meminta kepala mereka, pasti dikasih,” imbuh Kiai Miftach.
Melalui kisah ini, Rasulullah ingin berpesan bahwa selama orang Yahudi (non-Muslim) tidak berbahaya bagi orang Muslim, maka mereka layak untuk diayomi dan dilindungi. “Ini amahah yang ingin Rasulullah sampaikan,” tambah Kiai Miftach.
Dalam kisah lain, Sahabat Ali yang saat itu menjabat sebagai khalifah memiliki kasus dengan orang Yahudi. Saat itu Sahabat Umar berposisi sebagai hakim. Umar memanggil sang khalifah dengan panggilan Abul Hasan (salah satu bentuk penghormatan), sementara memanggil orang Yahudi tadi dengan nama biasa.
“Sahabat Ali marah karena namanya tidak disamakan dengan orang Yahudi (sama-sama dipanggil dengan nama biasa),” papar Kiai Miftach.
“Semasa hidup Rasulullah juga banyak melakukan perjanjian damai dengan non-Muslim dan memberi jaminan perlindungan kepada mereka,” pungkas Kiai Miftach.
Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Fathoni Ahmad