Kiai Desa di Tegal Pertahankan Kultural untuk Jaga Pancasila
Kamis, 10 Oktober 2019 | 05:00 WIB
KH Chambali Usman (duduk berbaju koko putih), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Abror, Yomani, Tegal (Foto: Pesantren Al Abror, Tegal)
Sekarang ini ideologi Pancasila tengah mendapatkan ancaman dari berbagai pihak yang ingin menggantinya. Organisasi HTI sangat getol ingin mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah. HTI juga menggangap bahwa idologi Pancasila adalah thogut karena tidak bersumber dari ajaran Islam.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak kalangan untuk mempertahankan Pancasila. Pemerintah sebagai pihak yang wajib menjaga Pancasila dan keutuhan NKRI juga telah melakukan pertahanan politik untuk menjaga Pancasila.
Walaupun organisasi ini telah dibubarkan, akan tetapi idologi khilafah yang mereka usung tetap tersebar di kalangan masyarakat. Maka untuk merespons dan menghentikan ideologi khilafah ini diperlukan pertahanan kultural. Pertahanan kultural sejatinya telah banyak dilakukan oleh kiai-kiai desa.
Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin dalam penelitiannya yang dilakukan tahun 2018 dengan judul Kiai Desa Menjaga Pancasila: Moderasi Melalui Pertahanan Kultural pada Masyarakat Tradisional menyatakan bahwa pertahanan kultural yang dilakukan kiai-kiai desa cukup efektif untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI dari rongrongan ideologi khilafah.
Kiai Syarifudin di hadapan para wali santri, warga masyarakat, saat menjadi penceramah dalam acara Haflah Akhirussanah-Khotmil Qur'an Waddurus menegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Dalam laporan penelitian Zaki, disebutkan bahwa Kiai Syarifudin berkata, "Aja ngandel nek ana sing ngomong Indonesia negara thoghut. Aja ngandel nek ana sing ngarani Pancasila bertentengan karo Al-Qur'an. Sila-sila sing ana nek Pancasila ora ana sing bertentangan karo Al-Qur'an."
Bagi KH Chambali Usman, mencintai NKRI dan menjaga Pancasila, adalah jalan keselamatan yang telah ditempuh para pendahulu dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai kiai, ia memiliki santri yang telah tersebar luas di berbagai penjuru yang menjadi agen dalam ikut serta menyebarkan ajakan atau perintahnya dalam menjaga Pancasila.
Perlu diketahui bahwa pertahanan kultural (cultural defense) ini berbeda dengan mempertahankan kultur (budaya). Pertahanan kultural bisa dimaknai sebagai model atau cara bertahan dengan menggunakan pendekatan kultural (yang berkaitan dengan kultur), budaya. Bisa dimaknai pula sebagai perlindungan diri dengan menitikberakan pada kerja-kerja kultural.
Hasil penelitian Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin di atas juga mengabarkan bahwa pertahanan kultural yang dilakukan kiai desa dalam mempertahankan NKRI dan Pancasila, selain mengajak masyarakat dan ribuan jamaahnya untuk mencintai NKRI dan menjaga Pancasila juga melakukan pendelegasian santri dan orang-orang di dekatnya untuk masuk dalam jabatan struktural pemerintah. Hal ini dilakukan agar mereka yang didelegasikan dalam pemerintah bisa membuat kebijakan yang mendukung NKRI dan menguatkan Pancasila.
Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin juga mengungkapkan pertahanan kultural kiai desa dalam mempertahankan Pancasila yang paling efektif adalah dengan menyebarkan seluruh kajian yang dilakukan melalui media sosial dan internet. Hal ini diharapkan bisa menjangkau masyarakat lebih luas dan juga menarik perhatian para milenial untuk tetap mencintai Pancasila dan belajar agama kepada ahlinya.
Penulis: Ahmad Khalwani