Nasional

Kiai Desa di Tegal Pertahankan Kultural untuk Jaga Pancasila

Kamis, 10 Oktober 2019 | 05:00 WIB

Kiai Desa di Tegal Pertahankan Kultural untuk Jaga Pancasila

KH Chambali Usman (duduk berbaju koko putih), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Abror, Yomani, Tegal (Foto: Pesantren Al Abror, Tegal)

Menjaga Pancasila adalah suatu kewajiban bagi masyarakat Indonesia. Karena, Pancasila merupakan dasar negara yang menyatukan segenap komponen bangsa Indonesia. Tanpa adanya Pancasila negara Indonesia akan mudah terpecah belah, terlebih lagi Indonesia merupakan negara dengan banyak suku dan budaya yang rentan akan perpecahan.

Sekarang ini ideologi Pancasila tengah mendapatkan ancaman dari berbagai pihak yang ingin menggantinya. Organisasi HTI sangat getol ingin mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah. HTI juga menggangap bahwa idologi Pancasila adalah thogut karena tidak bersumber dari ajaran Islam.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak kalangan untuk mempertahankan Pancasila. Pemerintah sebagai pihak yang wajib menjaga Pancasila dan keutuhan NKRI juga telah melakukan pertahanan politik untuk menjaga Pancasila.
 
Salah satu pertahanan politik yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI. Keputusan ini juga didasarkan pada Perppu No. 2/2017. Dengan diterbitkan keputusan ini organisasi HTI yang merongrong Pancasila resmi dibubarkan.

Walaupun organisasi ini telah dibubarkan, akan tetapi idologi khilafah yang mereka usung tetap tersebar di kalangan masyarakat. Maka untuk merespons dan menghentikan ideologi khilafah ini diperlukan pertahanan kultural. Pertahanan kultural sejatinya telah banyak dilakukan oleh kiai-kiai desa.

Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin dalam penelitiannya yang dilakukan tahun 2018 dengan judul Kiai Desa Menjaga Pancasila: Moderasi Melalui Pertahanan Kultural pada Masyarakat Tradisional menyatakan bahwa pertahanan kultural yang dilakukan kiai-kiai desa cukup efektif untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI dari rongrongan ideologi khilafah. 
 
Penelitian dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018. Penelitian yang berlokasi di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah dengan dukungan Diktis Kemenag ini cukup bagus dalam mengungkapkan pertahanan kultural yang dilakukan kiai-kiai desa. Sebagaimana contoh pertahanan kultural yang dilakukan oleh salah satu kiai desa, yang juga merupakan pimpinan Pondok Pesantren Nurul Huda, yaitu Kiai Syarifudin.

Kiai Syarifudin di hadapan para wali santri, warga masyarakat, saat menjadi penceramah dalam acara Haflah Akhirussanah-Khotmil Qur'an Waddurus menegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Dalam laporan penelitian Zaki, disebutkan bahwa Kiai Syarifudin berkata, "Aja ngandel nek ana sing ngomong Indonesia negara thoghut. Aja ngandel nek ana sing ngarani Pancasila bertentengan karo Al-Qur'an. Sila-sila sing ana nek Pancasila ora ana sing bertentangan karo Al-Qur'an."
 
Artinya, jangan percaya jika ada yang mengatakan Indonesia adalah negara thoghut. Jangan percaya jika ada yang mengatakan Pancasila bertentangan dengan Al-Qur'an. Sila-sila yang ada dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan Al-Qur'an.
 
Apa yang disampaikan Kiai Syarifudin merupakan salah satu perlawanan kultural yang sangat efektif untuk menjaga Pancasila agar tetap eksis di tengah masyarakat. Senada dengan apa yang disampaikan Kiai Syarifudin. KH Chambali Usman, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Abror, Yomani, juga begitu gencar mengajak masyarakat untuk mencintai NKRI.
 
Bagi KH Chambali Usman, mencintai NKRI dan menjaga Pancasila, adalah jalan keselamatan yang telah ditempuh para pendahulu dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai kiai, ia memiliki santri yang telah tersebar luas di berbagai penjuru yang menjadi agen dalam ikut serta menyebarkan ajakan atau perintahnya dalam menjaga Pancasila.

Perlu diketahui bahwa pertahanan kultural (cultural defense) ini berbeda dengan mempertahankan kultur (budaya). Pertahanan kultural bisa dimaknai sebagai model atau cara bertahan dengan menggunakan pendekatan kultural (yang berkaitan dengan kultur), budaya. Bisa dimaknai pula sebagai perlindungan diri dengan menitikberakan pada kerja-kerja kultural.

Hasil penelitian Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin di atas juga mengabarkan bahwa pertahanan kultural yang dilakukan kiai desa dalam mempertahankan NKRI dan Pancasila, selain mengajak masyarakat dan ribuan jamaahnya untuk mencintai NKRI dan menjaga Pancasila juga melakukan pendelegasian santri dan orang-orang di dekatnya untuk masuk dalam jabatan struktural pemerintah. Hal ini dilakukan agar mereka yang didelegasikan dalam pemerintah bisa membuat kebijakan yang mendukung NKRI dan menguatkan Pancasila.

Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin juga mengungkapkan pertahanan kultural kiai desa dalam mempertahankan Pancasila yang paling efektif adalah dengan menyebarkan seluruh kajian yang dilakukan melalui media sosial dan internet. Hal ini diharapkan bisa menjangkau masyarakat lebih luas dan juga menarik perhatian para milenial untuk tetap mencintai Pancasila dan belajar agama kepada ahlinya.

Penulis: Ahmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan