Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta pada tahun 2018 mengulas tuntas tentang ajaran sufistik Ki Ageng Selo. Salah satu pokok pembahasan dalam penelitian berjudul Corak Ajaran Tasawuf dalam Peepali Ki Ageng Selo Ditinjau dari Perspektif Hermeneutik Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher tersebut adalah tentang konsep hidup bahagia dunia akhirat atau saadah al-daraini.
Penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, Rima mendeskripsikan konsep kebahagiaan yang diajarkan Ki Ageng Selo terdapat dalam syair-syair Dandhanggula, Asmaradhana, dan Megatruh. Dalam ketiga bagian tersebut Ki Ageng Selo menuturkan secara lugas kriteria dan syarat 'perilaku' manusia untuk memperoleh kehidupan bahagia dunia akhirat.
Tentang hakikat baik dan buruk, Ki Ageng Selo menjelaskan dalam syair Megatruh pupuh keempat sampai sepuluh. Bahwa, kebaikan dan keburukan tidak bisa ditawar ditukar. Ketika membahas tentang kebaikan disandingkan dengan surga, dan ketika membahas tentang keburukan dikaitkan dengan neraka. Itu artinya, orang yang berbuat baik kelan akan ditempatkan di tempat yang layak, surga. Begitu pula sebaliknya, orang yang berbuat jelek niscaya akan dibalas dengan kesengsaraan kelak di akhirat.
Bersamaan dengan ketiga syarat tersebut, Ki Ageng Selo juga menegaskan bahwa syarat-syarat tersebut hanya dapat ditempuh dengan penggunaan akal sehat manusia secara maksimal. Karena hanya dengan akal sehatlah manusia mampu menyaring prihal baik dan buruk serta merefleksikan hakikat keberadaan dirinya.
Maka, manusia yang mampu menekuni keempat syarat kebahagiaan di atas, niscaya akan memperoleh ketenangan hidup, ketenteraman hati dan kedamaian jiwa sebagaimana yang dituliskan dalam Asmaradhana pupuh kedua.
Konsep kebahagiaan secara umum terbagi menjadi dua, kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan dunia hanya akan diperoleh dengan ketenangan hati dan ketenteraman jiwa, yaitu kebahagiaan yang tidak didasarkan pada predikat-predikat duniawi. Bentuk kebahagiaan ini telah dibahas syarat-syaratnya, yaitu ketika manusia mampu melepaskan diri dari dari kepentingan dan ketergantungan; dan pada selain Allah, sebagaimana tercantum pada Dandanggula pupuh kelima.
Kebahagiaan yang kedua adalah kebahagiaan akhirat, kebahagiaan manusia setelah bertemu dengan Tuhannya. Kebahagiaan akhirat ini dapat ditempuh dengan memperbanyak berbuat kebaikan, menjauhi perbuatan keji, serta menempuh jalan hakikat dan makrifat. Syarat kebahagiaan ini telah dijabarkan dalam Dandhanggula pupuh kesembilan, sepuluh, dan sebelas; dan di Asmaradana pupuh ketiga dan keempat. Isinya, manusia harus menempuh jalan suci dengan 'melakoni' syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua