Kiai Manan Jelaskan Makna Tajug dan Pesan Sunan Gunung Djati Cirebon
Senin, 11 November 2019 | 00:30 WIB
Ketua PBNU KH Manan Abdul Ghani saat memberikan sambutan dalam pembukaan acara tersebut. (Foto: NU Online/Rahman)
Purwakarta, NU Online
Pengurus Pusat Lembaga Ta’mir Masjid (LTM) Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) mengawali kegiatan Festival Tajug 2019 di Masjid Tajug Gede Cilodong, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, Ahad (10/11) malam. Diantara rangkaian acaranya adalah Road Show Qori dan Haflah Tilawatil Qur’an di sejumlah daerah di Jawa Barat yakni di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon.
Dalam sambutannya, Ketua PBNU KH Manan Abdul Ghani menjelaskan makna tajug dan pesan-pesan Sunan Gunung Djati Cirebon yang sampai saat ini masih diamalkan kebanyakan muslim di Indonesia. Ia menuturkan, tajug tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia oleh Wali Songo.
Menurutnya, saat Islam masuk ke Indonesia di Samudera Pasai para ulama membangun tempat untuk melaksanakan ibadah mahdloh dan ibadah sosial. Itulah yang dinamai tajug, namun tajug ini dinamai berbeda oleh beberapa masyarakat di Nusantara.
“Islam masuk ke Indonesia melalui Samudera Pasai kemudian para ulama membangun menasah. Menasah itu bahasa Arabnya musholla, Bahasa Acehnya menasah, sampai Sumatera Barat menjadi surau, dan ada lagi yang mengatakan langgar sampai ke Jawa Barat ganti namanya tajug. Sesungguhnya itu adalah masjid, dalam bahasa Nusantaranya ada yang menasah, langgar kemudian surau dan di Jawa Barat namanya tajug, tempat berkumpulnya para Jama’ah dalam melaksanaan ibadah mahdloh dan Ibadah Sosial sesama manusia,” ucap Kiai Manan di hadapan ratusan jama’ah yang hadir.
Hampir sama dengan Sunan-sunan sebelumnya, Sunan Gunung Djati mengembangkan ajaran Islam di tajug. Bahkan, sang Sunan mengembangkan Tarekat syatoriyah di tajug yang diberi nama Tajug Pasambangan. Sampai saat ini, ajaran tarekat Sunan Gunung Djati banyak dilantunkan oleh masyarakat di masjid-masjid dan majlis taklim di Jawa Barat.
“Bahwa beliau pengembang Tarekat Syatoriyah yang mengenal gusti Allah melalui tarekat yang sering kita baca puji-pujiannya. La ilaha Ila Allah, Muhammadurosulullah,” katanya sambil menyanyikan puji-pujian khas Sunda.
Kiai Manan menegaskan, Islam tersebar di Jawa melalui tajug, dan karena itu Sunan Gunung Djati telah berpesan kepada seluruh umat Islam di Jawa: ingsun nitip tajug lan fakir miskin.
Kandungan pesan Sang Sunan itu yakni umat Islam harus memakmuran masjid dengan adzan dan puji-pujian yang telah diajarkan. Kemudian memberdayakan fakir miskin agar bisa meningkatkan kehidupan mereka.
“Karena itu, Festival Tajug yang kemudian diselenggarakan untuk mengingatkan, maka isinya lomba adzan, lomba Adzan pitu, kenapa pitu? karena di Masjid Agung Sang Cinta Rasa itu kalau Jumatan adzannya pitu (7). Itu dulu ijtihadnya Sunan Gunung Djati untuk shalat bala’,” tuturnya.
Hadir juga pada kegiatan tersebut, Qariah legendaris, Hj Maria Ulfah, Qariah sekaligus juara MTQ Malaysia tahun 2000, Hj Iis Sholihat, dan Juara MTQ Nasional tahun 2018, Kiki Nazilah.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Aryudi AR