Kiai Musthofa Aqil Jelaskan Alasan Pesan Al-Qur'an Tidak Rinci
Ahad, 5 September 2021 | 12:00 WIB
Pengasuh Pondok Pesantren KH Aqil Siroj (KHAS) Kempek, Cirebon, KH Muhammad Musthofa Aqil Siroj (Foto: KHAS Kempek)
Jakarta, NU Online
Salah satu fungsi Al-Qur'an adalah sebagai panduan bagi manusia hidup di muka bumi, termasuk panduan dalam beribadah kepada Allah swt. Hanya saja, Al-Qur’an yang berfungsi sebagai panduan itu tidak menjelaskan persoalan-persoalan di dalamnya secara rinci. Tujuannya, supaya manusia terus berpikir.
Pengasuh Pondok Pesantren KH Aqil Siroj (KHAS) Kempek, Cirebon, Jawa Barat, KH Muhammad Musthofa Aqil Siroj menjelaskan, sengaja Allah membuat Al-Qur’an bersifat global. Alasannya, supaya manusia terus berusaha memahaminya, sehingga tradisi intelektual manusia tidak statis.
"Kalau penjelasan Al-Qur’an bersifat rinci, seperti menjelaskan shalat lengkap dengan syarat rukun dan lain sebagainya maka manusia bisa bodoh, tidak berkembang keilmuannya," ungkapnya saat mengisi sambutan dalam rangka Haul ke-32 KH Aqil Siroj dan Sesepuh Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (4/9/2021).
Dalam momen itu, Kiai Musthofa mencontohkan dalam persoalan shalat. Menurutnya, Al-Qur'an hanya mengintsruksikan perintah shalat, sebagaimana dijelaskan dalam Surat An-Nur ayat 56; Wa aqîmusshalâh, dan dirikanlah shalat oleh kalian. Tetapi tidak menjelaskan syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya apa saja, dan lain sebagainya.
Keluasan kandungan Al-Qur’an
Selain penjelasan dalam Al-Qur'an bersifat global, sehingga membutuhkan eksplorasi lebih dalam, kandungan di dalamnya juga sangat luas. Ini yang kemudian memacu para ulama untuk mengkaji Al-Qur’an lebih dalam, untuk mengarungi kedalaman maknanya.
"Ada âyâtul ulûhiyyah (teologi), âyâtun nubuwwah (kenabian), âyâtul ma’âd (akhirat), âyâtul qashash (kisah-kisah), âyâtul kaun (alam), dan âyâtut tasyri’," jelas Katua Majelis Dzikir Hubbul Wathan (MDHW) itu.
Dijelaskan oleh Kiai Musthofa, untuk memahami Al-Qur’an, banyak tahapan yang harus dilalui agar sampai pada puncak. Menurutnya, ada enam tahap. Pertama, mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Kedua, mampu mengartikannya dengan tepat. Ketiga, mampu melakukan tathbîqul masâ’il (mengaplikasikan dengan persoalan-persoalan yang ada).
Keempat, mampu melakukan tathbîqud dalâ’il (menerapkan dalil-dalilnya). Kelima, ma’rifatu kaifiyyatil istinbâth (mengetahui cara pengambilan hukum). "Keenam, ini yang paling puncak, ma’rifatu asrâril qur’ân (mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an)," papar Kiai Musthofa.
Terkait ma’rifatu kaifiyyatil istinbâth, Kiai Musthofa mencontohkan pengambilan hukum yang dilakukan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai hukum berurutan dalam membasuh anggota wudhu. Ia menjelaskan, jika Imam Malik tidak mengharuskan berurutan, tapi menurut Imam Syafi’i wajib.
Dasar argumen kedua ulama itu adalah Surat Al-Ma’idah ayat 6. Hanya saja, Imam Malik memahami huruf wawu berfaedah limuthlaqil jam’i, sementara menurut Imam Syafi’i faedahnya littartîb.
"Ayatnya sama, tapi prodak hukumnya berbeda karena cara ber-istinbâht-nya yang berbeda," jelas menantu Almarhum KH Maimun Zubair itu.
"Begitulah keluasan Al-Qur’an, bagai laut tak bertepi," pungkasnya.
Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Kendi Setiawan