Kisah Gen Z Jadi Penyuluh Agama, Membina Ibu-Ibu melalui Dakwah di Majelis Taklim
Rabu, 15 Oktober 2025 | 17:00 WIB
Maratu Sholihah, Gen Z yang menjadi penyuluh agama, giat berdakwah membina ibu-ibu di majelis taklim. (Foto: dok. pribadi)
Bekasi, NU Online
Di sebuah permukiman di Jatiluhur, Jatiasih, Bekasi, seorang perempuan muda menyapa warga dengan senyum tulus dan sapaan yang penuh hormat, “Assalamualaikum, ibu-ibu semua.” Balasannya pun tak kalah akrab, “Waalaikumussalam, eh datang Eneng Ustadzah!”
Ya, warga di sana mengenalnya sebagai Eneng Ustadzah, meskipun nama lengkapnya adalah Mar’atu Sholihah, seorang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) muda yang kini aktif sebagai penyuluh agama.
Pada usianya yang baru menginjak 24 tahun, Mar’ah telah memilih jalan yang tak biasa bagi anak muda, yaitu turun langsung membina masyarakat, terutama ibu-ibu, melalui dakwah di majelis taklim, dari mushala ke mushala dan dari rumah ke rumah.
“Awalnya saya malah baru tahu ada profesi penyuluh agama. Tapi dari dulu saya memang pengin punya pekerjaan yang kalau datang ke majelis taklim itu disebut kerja. Dan ternyata, sekarang beneran jadi kerjaan saya," katanya kepada NU Online di Bekasi, Jawa Barat, pada Ahad (12/9/2025).
Sejak resmi menjadi PPPK pada Juni 2025, Mar’ah merasa jalannya makin jelas. Baginya, menjadi penyuluh bukan sekadar profesi, tapi bagian dari kontribusi panjang untuk masa depan umat.
“Penyuluh itu kan artinya penerang. Jadi kalau sekarang saya bisa nyalain cahaya, nanti pas tua tinggal memanen. Ini semacam tabungan kebaikan jangka panjang,” katanya.
Sebagai penyuluh muda, tantangan Mar’ah justru bukan dari luar tapi dari citra masa lalunya sendiri sebagai anak dari seorang tokoh agama.
“Selama ini orang tahunya saya itu anak ustadzah. Anak si ini, anak si itu. Sekarang saya pengin dikenal bukan karena saya anak siapa, tapi karena saya bisa memberi manfaat sebagai Mar’ah, si penyuluh agama,” kata Mar'ah.
Saat membina ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalnya, Mar’ah tak membawa cara ceramah formal ala mimbar. Ia lebih suka memakai pendekatan sersan, serius tapi santai.
“Ibu-ibu itu peka banget. Kalau merasa digurui, mereka bisa ilfeel. Tapi kalau kita ajak ngobrol, diselipin candaan, kasih contoh kehidupan sehari-hari, mereka jadi lebih terbuka," katanya.
Mar’ah paham betul, metode dakwah itu harus disesuaikan dengan audiens. Ia tak pernah pakai naskah kaku, karena yang ia bangun bukan sekadar penyampaian ilmu, tapi menggunakan pendekatan emosional.
“Kadang saya datang bawa materi, tapi berubah total di lapangan. Tergantung siapa yang datang, suasananya kayak gimana. Fleksibel aja. Yang penting pesannya sampai," katanya.
Uniknya, Mar’ah juga sering menjadi penyambung suara bagi teman-temannya sesama Gen Z. Ia mengisi kajian remaja dengan gaya sharing session, ngobrol dari hati ke hati.
“Gen Z itu penginnya dakwah yang nggak menggurui. Santai, relate, dan bikin mikir. Mereka lebih suka diskusi daripada diceramahi," katanya.
Ia melihat bahwa dakwah hari ini tidak bisa copy-paste metode lama. Harus ada inovasi, adaptasi, dan yang paling penting adalah kejujuran dalam menyampaikan.
“Kalau kita jujur dalam menyampaikan, bahkan yang simpel pun bisa ngena. Dakwah itu bukan tentang gaya, tapi rasa," jelasnya.
Selain ceramah dan pendampingan masyarakat, Mar’ah juga aktif menulis di media sosial. Ia percaya bahwa tulisan bisa menjadi alat dakwah yang tak kalah efektif. Lewat pendekatan digital, Mar’ah berharap orang-orang yang membaca unggahannya di media sosial bisa merasa lebih dekat dengan agama, bukan karena takut, tapi karena merasa dipahami dan dikuatkan.
“Menulislah, maka kamu akan abadi. Saya suka banget quote itu. Makanya saya bikin akun khusus yang isinya tulisan-tulisan refleksi dan dakwah ringan," ungkapnya.
“Saya pengin tulisan saya jadi semacam pengingat. Kadang cuma satu paragraf pendek, tapi bisa bikin orang merasa ‘terenyuh’. Itu cukup," tambahnya.
Dalam banyak dakwahnya, Mar’ah juga sering menekankan pentingnya peran keluarga, khususnya orang tua dalam membentuk karakter anak.
“Nggak harus masuk pesantren untuk jadi dekat dengan Al-Qur’an. Ada anak yang sekolah biasa, tapi hafal 20 juz karena didikan orang tuanya," kata Mar'ah.
Ia ingin masyarakat lebih sadar bahwa agama itu bisa diajarkan dari rumah, lewat kebiasaan, kasih sayang, dan keteladanan.
“Kalau kita ajak anak-anak ke pesantren dan orang tuanya nggak support, ya susah juga. Makanya dakwah itu harus menyasar orang tuanya juga, bukan cuma anaknya," jelas Mar'ah.
Untuk teman-teman sebayanya, Mar’ah punya pesan sederhana yakni jadilah versi terbaik dirimu sendiri.
“Hidup itu jangan sibuk ngejar apa yang dikejar orang lain. Fokus aja sama apa kebaikan yang bisa kita lakuin hari ini. Mau kerja di PT, di kantor, di mana aja nggak masalah. Tapi jangan tunggu jadi ustadz dulu baru mulai kebaikan," katanya.
“Nggak perlu nunggu jadi ustadzah buat berbuat baik. Kebaikan itu bisa dari hal kecil (seperti) mentraktir teman, ngajak ngaji, bantu orang tua," imbuh Mar'ah.
Ia juga menegaskan bahwa menjadi penyuluh bukan berarti lebih mulia dari yang lain.
“Yang tahu isi hati kita, ya kita sendiri. Jadi jangan pakai standar orang lain untuk nilai diri sendiri. Temukan jalanmu, dan manfaatkan potensi yang kamu punya," ucap Mar'ah.
Dalam balutan hijab sederhana dan gaya bicara yang tenang, Mar’ah membuktikan bahwa berdakwah itu bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, dan dari mana saja. Dari mushala kecil yang di dalamnya ada majelis taklim di Jatiluhur hingga layar ponsel orang-orang yang membaca tulisannya, ia terus menyuluh pelan, tapi konsisten. Serius tapi santai. Kecil, tapi bermakna.
“Saya nggak merasa lebih tinggi dari siapa pun. Saya cuma pengin jadi orang yang bermanfaat. Dan penyuluh agama ini, bagi saya, adalah cara untuk terus menyala," pungkasnya.