Kisah Santri Anak Komandan Banser Ikuti Pertukaran Mahasiswa di Amerika
Sabtu, 14 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Lintang (tengah, kerudung moka, pakai kacamata) bersama teman-temannya dari berbagai kampus di Amerika Serikat. (Foto: Dok. pribadi)
Jakarta, NU Online
Lintang Ayu Taufiqoh (21), alumnus Pesantren Al-Islahiyyah Mayan Kranding, Mojo, Kediri, Jawa Timur antusias mendapat kesempatan belajar di Amerika Serikat, tepatnya di York College of Pennsylvania (YCP) melalui program pertukaran pelajar dan mahasiswa.
Putri almarhum Muhammad Asrofudin Budianto alias Mbah Wongso yang pernah menjadi Kasatkornas Banser tahun 1997-2000 ini bercerita tentang awal mula dirinya ikut serta dalam program bergensi tersebut.
“Awalnya saya daftar program ini di akhir Juni 2023 untuk mencari pengalaman yang jauh lebih menantang. Lalu, dapat link pendaftaran dari grup mahasiswa prodi. Karena penasaran, akhirnya saya daftar aja dan nyari berkas-berkas penunjangnya,” ujar Lintang.
Mahasiswi Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengaku sempat kesulitan karena tidak mendapat dukungan dari fakultas.
“Mungkin karena ini program batch 1. Jadi, masih belum banyak yang tahu dan dikira program tidak terpercaya padahal yang menyelenggarakan Kementerian Agama,” ungkapnya.
Gadis kelahiran Magelang ini mengaku bersyukur dan bangga lantaran dirinya menjadi satu-satunya mahasiswi FSH UIN Jakarta yang lolos program MOSMA LPDP Kemenag tersebut. Saat itu, ia tercatat sebagai volunteer (relawan) di Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).
“Ceritanya pas saya dalam perjalanan pengabdian di Kepulauan Natuna, masih di atas kapal Pelni, tepatnya tanggal 11 Juli saya dapat pengumuman lolos seleksi berkas. Langsung nangis antara bersyukur sama khawatir gak bisa ikut wawancara karena sedang di lokasi yang nggak proper alias susah sinyal,” kenangnya.
Saat itu, Lintang yang akan bertugas di Desa Sededap, Kecamatan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau merasa benar-benar mendapat kejutan. Dalam situasi masih terombang-ambing di lautan lepas itu dirinya dibantu koleganya untuk merespons pengumuman kelulusan program tersebut.
“Untungnya saya dapat support dari tim di NGO buat meluangkan waktu. Jadi, bebas tugas dari pengabdian dulu selama proses wawancara berlangsung. Dan saya benar-benar berjuang cari sinyal ke ujung pulau. Semua saya terabas mulai gerimis, suara ombak, angin pantai, hingga tidak enak badan,” tuturnya.
Setelah perjuangan mencari sinyal selesai, Lintang akhirnya bisa mengikuti wawancara pada pukul 15.30 WIB. Ia sempat menunggu kurang lebih sejam. “Karena saya benar-benar tidak mengira bakal wawancara di lokasi pengabdian, udah gitu minim bahkan bisa dibilang nggak ada persiapan sama sekali, jujur saya pasrah,” ujarnya.
Tanggal 16 Juli 2023 pagi hasil wawancara keluar. Lintang masih belum menyadari apa yang terjadi. Karena saat itu dirinya masih capek usai rapat maraton terkait agenda pengabdian hingga larut malam. Paginya ia langsung persiapan program pengabdian lagi.
“Ternyata yang nge-chat saya udah banyak, baik di WhatsApp maupun Instagram. Mereka tanya sambil kirim skrinsyutan SK hasil wawancara. Mereka lihat nama saya di sana. Subhanallah, Lintang diterima. Saya otomatis nangis dan langsung ngabari mamah di Magelang,” ucapnya.
Lintang mengaku belum mudik sejak Lebaran hingga pengumuman kelulusan program pertukaran mahasiswa itu. “Jadi, semua komunikasi hanya bisa lewat online. Alhamdulillah Allah mempermudah semua,” ungkap alumnus MTs Al-Jauhar Pesantren Sunan Pandanaran, Gunungkidul, Yogyakarta, ini.
Sekembalinya ke Jakarta dari Kepulauan Natuna hingga keberangkatan ke Amerika, waktunya hanya sebulan. Ia bersyukur persiapan berbagai hal mulai membuat paspor, visa, berkas penunjang, dan lain-lain lancar.
“Untuk pertama kalinya saya sebagai wong ndeso dari Magelang ke luar negeri untuk 1 semester perkuliahan, bukan jalan-jalan,” beber penyuka traveling (piknik) bermanfaat ini.
Lintang mengatakan bahwa dirinya berangkat ke Negeri Paman Sam pada 20 Agustus 2023. Terlebih dari ia transit di Sydney-LA-Washington kemudian lanjut naik bus ke York, persisnya di YCP, kampus yang ia tuju sekarang.
“Struggle (perjuangan) di sini luar biasa banyak. Selain karena bahasa, kultur, makanan, hingga pertemanan. Belum lagi sistem perkuliahannya yang beda banget dengan di Indonesia. Benar-benar shock culture,” tuturnya.
Lintang mengungkapkan bahwa selama program pertukaran mahasiswa, dirinya mendapat uang saku yang hanya cukup untuk kebutuhan primer dari pemerintah. “Buat housing (bayar unit asrama) dan makan sehari hari. Jadi, belum tentu bisa jajan, yang penting makan dulu,” ungkapnya seraya terkekeh.
Ketika uang sakunya ngepres, ia memiliki kiat khusus untuk menghadapinya. Yakni, makan harus ditata dan direncanakan dengan baik. “Karena di sini kami tidak boleh kerja. Kecuali mau magang di kampus. Sayangnya, saya dan teman-teman belum mumpuni,” keluhnya.
Memang dari awal datang, Lintang dan peserta program itu telah diberi tahu bahwa visa F-1 di sini hanya untuk full study. Tidak bisa sambil part-time di luar. Karena para peserta mengambil kuliah full SKS. Jadi, sangat tidak cocok untuk dipekerjakan.
“Dalam program ini, selain saya ada 17 orang dari Indonesia ke kampus yang sama dengan Lintang. Nah, lainnya ada kampus Buffalo, RIT, Temple, dan Colombia,” terangnya.
Di momen bulan Santri pada Oktober ini, ia berpesan kepada santri di mana pun berada untuk tetap semangat meraih mimpi. "Bermimpilah setinggi langit. Salah satunya adalah berkesempatan belajar di luar negeri,” pungkas Lintang.