Komnas HAM Soroti Food Estate Prabowo dan Korupsi dalam Krisis Pangan
Selasa, 30 September 2025 | 20:00 WIB
Diskusi JustCOP-CELIOS-LaporIklim bertema Nexus Tiga Krisis Planet: Tanah untuk Rakyat, Bukan Food Estate di Menteng , Jakarta, Selasa (30/9/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah menilai program food estate yang digagas Presiden Prabowo Subianto justru menimbulkan persoalan baru dalam tata kelola pangan nasional. Alih-alih menjadi solusi, program tersebut dinilai memperburuk krisis iklim dan memicu konflik agraria.
“Food estate dibangun dengan cara-cara yang tidak menggunakan atau mengindahkan prinsip-prinsip asasi manusia. Dari aspek pengadaan lahannya, ada penyerobotan lahan masyarakat adat yang bahkan kemudian menimbulkan deforestasi. Sehingga itu memicu perubahan iklim,” ungkap Anis dalam Diskusi JustCOP-CELIOS-LaporIklim bertema Nexus Tiga Krisis Planet: Tanah untuk Rakyat, Bukan Food Estate di Menteng , Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Rantai Korupsi dalam Tata Kelola Pangan
Anis juga menyoroti lemahnya akuntabilitas berbasis HAM dalam rantai pasok pangan. Menurutnya, tata kelola pangan di Indonesia masih didominasi oleh pelaku bisnis dan aktor negara yang terindikasi praktik korupsi.
“Ini bisa dicek datanya KPK. Masih terjadi rantai-rantai korupsi dalam tata kelola pangan kita yang luar biasa memengaruhi ketersediaan pangan dan gizi untuk masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anis menjelaskan bahwa hak atas pangan mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan, dan keberlanjutan. Semua itu merupakan tanggung jawab negara, namun juga melibatkan pelaku bisnis melalui prinsip business and human rights.
“Dalam pemenuhan hak atas pangan dan gizi, prinsip-prinsip HAM seharusnya menjadi dimensi yang sangat penting dan diperhatikan oleh negara. Namun selama ini seringkali luput,” katanya.
Pelanggaran dan Mekanisme Pemulihan
Ia mengungkapkan, pelanggaran hak atas pangan dapat berupa pengusiran masyarakat dari lahan produktif, pencemaran sumber pangan, kebijakan yang menyebabkan lonjakan harga, hingga diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Dalam kasus seperti itu, kata Anis, negara wajib menyediakan mekanisme pemulihan, baik melalui jalur peradilan maupun non-yudisial seperti negosiasi dan mediasi. Komnas HAM sendiri telah memantau sejumlah kasus food estate di Merauke, serta tengah menyiapkan tim penyelidikan untuk kasus terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kami berharap kasus-kasus ini bisa mendorong pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan, baik dari sisi tata kelola maupun ketersediaan pangan yang layak dan bergizi bagi masyarakat,” pungkasnya.