Komnas Perempuan: Dunia Digital Tak Aman bagi Perempuan, Kasus Kekerasan Seksual Online Terus Naik
Kamis, 9 Oktober 2025 | 17:30 WIB
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor saat memaparkan materi Kamis (9/10/2025) (Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menilai ekosistem digital di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal.
Menurutnya, di balik masifnya penggunaan media digital, masih banyak praktik kekerasan berbasis gender yang belum mendapat perlindungan hukum memadai, terutama kekerasan seksual di ranah daring.
“Dalam pandangan kami, digital hari ini itu tidak baik-baik saja. Di satu sisi cukup masif penggunaannya, tetapi di sisi lain, masyarakat belum teredukasi dan belum dibekali prinsip-prinsip hak asasi manusia,” ujar Maria dalam diskusi publik bertajuk The Role of Civil Society in Building a Democratic Digital Ecosystem, di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Kekerasan Seksual Berbasis Online Meningkat Lima Kali Lipat Pasca Covid-19
Maria memaparkan, sejak 2016 Komnas Perempuan mulai menerima laporan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Pada awalnya jumlah kasus masih terbilang sedikit, hanya belasan. Namun sejak pandemi Covid-19, angka tersebut melonjak tajam hingga meningkat lima kali lipat.
“Sebelum pandemi, kasus KBGO masih ratusan. Tapi saat Covid-19, jumlahnya naik menjadi lebih dari tujuh ratus laporan. Setelah itu terus meningkat dari tahun ke tahun,” jelasnya.
Data Komnas Perempuan menunjukkan, kekerasan seksual kini menempati urutan pertama dari seluruh jenis kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang 2022–2023, menggeser kekerasan psikis yang sebelumnya mendominasi.
Berdasarkan kategorisasi lembaga layanan dan pengaduan Komnas Perempuan, bentuk kekerasan berbasis gender online yang paling banyak terjadi ialah cyber harassment (pelecehan digital), diikuti oleh sextortion (pemerasan seksual) dan sexting (penyebaran konten intim tanpa izin).
“Bentuknya memang beragam, tapi dampaknya sama: menyakiti secara fisik, psikis, dan sosial. Ada korban yang sampai depresi berat, bahkan beberapa memilih mengakhiri hidupnya,” kata Maria.
Sebaran kasus KBGO terjadi di seluruh provinsi Indonesia, dengan wilayah DKI Jakarta, Banten, Lampung, dan Jawa Tengah mencatat angka tertinggi.
Keterbatasan Implementasi UU TPKS
Maria juga menyoroti lemahnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022. Meski payung hukum telah tersedia, banyak aparat penegak hukum yang belum memahami substansinya.
“Masih banyak aparat yang menggunakan pasal-pasal lama dalam menangani kasus kekerasan seksual. Akibatnya, banyak korban memilih mencabut laporan karena merasa tidak dilindungi,” ungkapnya.
Ia menegaskan, UU TPKS menjamin hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, namun ruang pelaporannya masih terbatas. Saat ini, baru sekitar 60 persen pemerintah daerah yang memiliki unit layanan perempuan dan anak yang siap menerima laporan kekerasan seksual, termasuk yang berbasis daring.
Maria menekankan, pembangunan ekosistem digital yang demokratis tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada literasi masyarakat dan keberpihakan negara terhadap korban kekerasan.
Ia mengajak semua pihak, termasuk masyarakat sipil, untuk aktif mendorong edukasi digital yang berbasis kesetaraan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“Negara sudah memberi perlindungan hukum, tapi pelaksanaannya masih lemah. Karena itu, masyarakat sipil perlu terus berperan mengawasi dan mengedukasi agar ruang digital kita menjadi ruang yang aman dan berkeadilan,” tuturnya.