Nasional

Komnas Perempuan Sebut Kekerasan Seksual di Ruang Digital Masih Jadi Fenomena Gunung Es

Kamis, 9 Oktober 2025 | 19:30 WIB

Komnas Perempuan Sebut Kekerasan Seksual di Ruang Digital Masih Jadi Fenomena Gunung Es

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor (pegang mic) saat memaparkan materi Kamis (9/10/2025). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

 

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menegaskan bahwa angka kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang tercatat di lembaganya hanyalah fenomena gunung es.

 

Artinya, kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan hanyalah sebagian kecil dari realitas kekerasan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.

 

“Kalau menggunakan paradigma fenomena gunung es, jumlah korban yang melapor itu sangat kecil dibandingkan yang tidak melapor. Misalnya, pada 2021 tercatat 1.740 kasus yang dilaporkan, tapi jumlah yang tidak melapor pasti jauh lebih besar,” ujar Maria dalam forum diskusi publik The Role of Civil Society in Building a Democratic Digital Ecosystem di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

 

Maria menjelaskan, sepanjang 2023 Komnas Perempuan mencatat 1.658 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal dan 1.371 kasus di ranah publik, termasuk di dunia kerja dan ruang digital.

 

Selain itu, terdapat 211 laporan kekerasan yang diterima melalui lembaga layanan mitra Komnas Perempuan di berbagai daerah.

 

“Sekali lagi, itu yang melapor. Padahal kita tahu, banyak korban kekerasan seksual, terutama di ruang digital, yang belum tahu ke mana harus melapor,” katanya.

 

Menurut Maria, sejak menerima laporan, Komnas Perempuan berupaya memastikan korban mendapatkan perlindungan langsung, termasuk bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan keamanan fisik, psikis, dan pemulihan psikologis korban.

 

Daerah 3T Paling Rentan

Maria juga menyoroti persoalan ketimpangan infrastruktur digital di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Ia menceritakan pengalaman lapangan ketika melakukan pemantauan di daerah pesisir Lampung, di mana akses sinyal sangat terbatas.

 

“Kami pernah ke salah satu pulau kecil di Lampung. Untuk mendapatkan sinyal, kami harus menaruh ponsel di atas pohon. Ini bukan cerita masa lalu, tapi realitas hari ini,” ungkapnya.

 

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih banyak wilayah di Indonesia yang belum terjangkau teknologi informasi, padahal kasus kekerasan seksual digital juga bisa terjadi di daerah terpencil.

 

“Karena itu, percepatan pembangunan infrastruktur dan edukasi publik di daerah 3T sangat mendesak,” tegasnya.

 

Maria mengapresiasi kerja sama antara Koalisi Damai, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan berbagai lembaga masyarakat sipil yang berupaya membangun ruang digital yang aman dan berperspektif hak asasi manusia.

 

“Harapan kami, AMSI dan Koalisi Damai dapat berkolaborasi dengan Komnas Perempuan untuk mengedukasi publik dan memperkuat kapasitas SDM, terutama jaringan mitra Komnas Perempuan yang kini berjumlah 173 lembaga di seluruh Indonesia,” jelasnya.

 

Namun, Maria mengingatkan bahwa masih banyak wilayah yang belum memiliki pengadaan layanan kekerasan seksual. Karena itu, ia mendorong kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat pembentukan lembaga layanan di daerah-daerah 3T.

 

Maria menekankan pentingnya regulasi dan literasi digital yang tidak hanya menekankan pada aspek kebebasan berekspresi, tetapi juga penghormatan terhadap martabat dan keselamatan pengguna.

 

“Kita bebas berekspresi di dunia digital, tapi kebebasan itu tetap punya batas yaitu menghargai orang lain. Damai yang kami maksud bukan damai yang represi, tapi damai yang menghormati,” ujarnya.

 

Maria berharap pembangunan ekosistem digital ke depan tidak sekadar menekankan aspek teknologi, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan gender agar ruang digital benar-benar menjadi ruang demokratis dan aman bagi semua.