KontraS: Aksi Kamisan Tetap Teguh Menantang Sistem Otoritarian Warisan Orde Baru
Jumat, 5 Desember 2025 | 07:00 WIB
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya saat berorasi dalam Aksi Kamisan Ke-889 di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menegaskan, keteguhan Aksi Kamisan di depan Istana Negara merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem otoritarianisme yang masih hidup dalam struktur kekuasaan Indonesia.
Menurutnya, konsistensi Aksi Kamisan tidak lahir dari rutinitas semata, tetapi dari kenyataan bahwa sistem otoritarian yang melahirkan kultur impunitas dan matinya akuntabilitas penegakan hukum masih mengakar kuat.
“Ada ketidakadilan yang dirasakan oleh keluarga korban, terutama karena tiadanya mekanisme hukum yang menghukum pelaku pelanggaran HAM. Sudah hampir dua tahun Prabowo menjadi Presiden, dan belum ada satupun pejabat yang berani bilang bahwa dia pelanggar HAM,” ujarnya dalam Aksi Kamisan Ke-889 di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).
Dimas menambahkan bahwa belum ada langkah hukum yang menyentuh pertanggungjawaban atas tragedi kemanusiaan 1998 maupun pelanggaran HAM berat lainnya. Ia menyoroti bahwa sampai hari ini, negara belum menunjukkan keberanian untuk membuka kembali proses pertanggungjawaban para pihak yang diduga terlibat.
“Belum ada mekanisme hukum yang bisa menyentuh bahwa dia bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan tahun 98. Padahal, ada banyak nama yang fotonya bisa teman-teman lihat dalam spanduk yang sering dibawa Aksi Kamisan,” jelasnya.
Dimas menilai bahwa jika gejala otoritarian ini tidak ditangani secara menyeluruh, maka yang muncul adalah kebangkitan simbol, nilai, dan pola-pola kekuasaan Orde Baru dalam rupa yang baru. Ia menegaskan bahwa perjuangan Aksi Kamisan bukan ditujukan kepada individu tertentu, melainkan kepada sebuah sistem yang terus digerogoti oleh hantu-hantu Orde Baru.
“Hari ini tidak ada sosok Soeharto, tetapi nilai dari Soeharto, pemikiran dan paradigma otoritarianisme ala Soeharto masih hidup dan dipertahankan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan,” katanya.
Dimas juga menyoroti pentingnya peran anak muda sebagai kekuatan moral yang berpihak kepada kelompok tertindas. Ia menyebut nama-nama aktivis yakni Deltia Dwi Anjani, Hanna Karen, Harits Anhar, Syahdan Husein, Muzaffar Salim, Laras Faizzaty, Dera, serta para pejuang HAM Munir dan Sam Umar, menjadi simbol keteguhan melawan aparat yang represif dan runtuhnya integritas penegakan hukum.
“Semua yang ada di sini punya keteguhan dan keberanian untuk menjaga nilai-nilai keberpihakan, berada bersama orang-orang tertindas, dan mempertahankan ruang demokrasi ini,” ujarnya.