Nasional

KontraS Nilai Kekerasan dan Impunitas Masih Menguat di Era Pemerintahan Prabowo

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 07:00 WIB

KontraS Nilai Kekerasan dan Impunitas Masih Menguat di Era Pemerintahan Prabowo

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus dalam acara Bedah dan Diskusi Buku berjudul Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan yang digelar di Gedung Tempo Media Group, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (10/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus menilai, kekerasan dan impunitas masih menguat di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.


Ia menegaskan, penegakan hukum dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia semakin gelap di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran.


Hal tersebut disampaikan Andrie dalam acara Bedah dan Diskusi Buku berjudul Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan yang digelar di Gedung Tempo Media Group, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (10/10/2025).


Menurut Andrie, sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, pemerintahan Prabowo-Gibran belum menunjukkan komitmen nyata dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu.


“Sejak awal, bahkan ketika ia pertama kali mencalonkan diri pada 2004, Prabowo adalah orang yang harus dipertanggungjawabkan ke pengadilan atas dugaan keterlibatannya dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998,” ujarnya.


Andrie menilai, tidak ada proses penyelesaian yang serius terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM, baik yang telah ditetapkan Komnas HAM maupun kasus kekerasan lain yang terus berulang.


“Kita tidak yakin kasus pelanggaran HAM akan selesai, setidaknya sampai lima tahun ke depan. Ada budaya impunitas yang membuat pelaku tidak bisa diadili karena tidak adanya kemauan politik dari penguasa,” tegasnya.


Lebih jauh, Andrie menyoroti meningkatnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara terhadap masyarakat, kecenderungan pemerintah untuk mengembalikan peran militer dalam urusan sipil, politik, dan bisnis menjadi sinyal kemunduran demokrasi.


“Saya dapat informasi akan ada 100 batalion yang akan mengepung Jabodetabek untuk pengamanan ibu kota politik. Ini mengingatkan pada praktik militeristik era Orde Baru,” ucapnya.


“Jahatnya, senjata yang dibeli dari jerih payah pajak kita itu ditenteng-tenteng ke tengah jalan, atau bahkan ke tempat-tempat kopi, atau bahkan ke ruang diskusi, untuk memberikan intimidasi agar kita semua diam dan tunduk serta manut pada apa yang diinginkan penguasa,” tambahnya.


Ia juga menyinggung kerasnya respons aparat terhadap aksi demonstrasi damai yang dilakukan rakyat. Menurutnya, unjuk rasa yang seharusnya menjadi ruang ekspresi aspirasi publik kerap dihadapi dengan kekerasan.


“Demonstrasi dibalas gas air mata oleh pasukan Brimob dan penangkapan oleh intelijen di tempat publik tanda negara semakin sakit,” katanya.


Andrie menegaskan pentingnya sikap kritis masyarakat untuk menolak diam di tengah situasi yang memburuk.


“Kita harus kuat di tengah negara yang sakit. Jangan diam dan jangan lupa, karena jika peristiwa kekerasan masa lalu tidak diselesaikan, maka ia akan terus berulang di masa depan,” tutupnya.