KPA: Pansus Agraria Harus Sesuai dengan Aspirasi Rakyat, Atasi 24 Masalah Struktural
Jumat, 3 Oktober 2025 | 10:00 WIB
Suasana aksi para petani di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025). (Foto: dok. KPA)
Jakarta, NU Online
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama sejumlah organisasi tani dan jaringan masyarakat sipil kembali menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis (2/10/2025).
Aksi ini ditujukan untuk mengawal janji DPR dalam membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menegaskan bahwa pembentukan Pansus harus sesuai dengan aspirasi rakyat.
“Melalui aksi ini, KPA juga ingin memastikan bahwa Pansus yang akan dibentuk mengandung nilai-nilai, semangat, fungsi kelembagaan dan mekanisme kerjanya yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Pansus juga harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dan organisasi rakyat secara aktif dan bermakna,” kata Dewi dalam keterangan tertulis yang diterima NU Online, Jumat (3/10/2025).
Sejumlah organisasi tani turut serta dalam aksi tersebut, di antaranya Pemersatu Petani Cianjur (PPC), Pergerakan Petani Banten (P2B), dan Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS).
Mandat Reforma Agraria
Dewi menjelaskan bahwa Pansus nantinya diharapkan benar-benar mengawasi pelaksanaan reforma agraria. Tiga hal pokok yang harus menjadi perhatian adalah redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural, serta pengembangan ekonomi di lokasi reforma agraria oleh Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BP-RAN) bersama kementerian dan lembaga terkait.
Ia menambahkan, kerja Pansus harus sejalan dengan mandat Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960).
Selain itu, Pansus perlu mendorong solusi-solusi baru, termasuk kebijakan diskresi hukum dalam menghadapi hambatan pelaksanaan reforma agraria yang melibatkan BUMN seperti PTPN dan Perhutani, serta mengatasi persoalan klasik minimnya anggaran yang kerap diungkit menteri selama satu dekade terakhir.
Lanjutan Aksi Hari Tani Nasional
Aksi pada 2 Oktober ini merupakan kelanjutan dari aksi damai pada Hari Tani Nasional, 24 September lalu. Saat itu, KPA bersama 12 ribu massa petani menyoroti kegagalan negara dalam memenuhi konstitusi yang berdampak pada semakin tajamnya ketimpangan penguasaan tanah, meledaknya konflik agraria, serta meluasnya kemiskinan pedesaan.
“KPA mengapresiasi langkah para pimpinan DPR yang membuka ruang dialog dengan rakyat ketika perwakilan KPA bersama 100 orang dari organisasi tani, nelayan, dan buruh diterima pimpinan DPR dalam rapat dengar pendapat 24 September lalu,” ujar Dewi.
Dalam pertemuan itu, KPA menyampaikan 24 masalah struktural agraria beserta 9 tuntutan perbaikan sebagai strategi percepatan reforma agraria.
Rapat tersebut juga dihadiri sejumlah pejabat, antara lain Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan, Menteri Desa PDTT, Plt. Menteri BUMN, Menteri Pariwisata, Kepala Staf Kepresidenan, serta perwakilan Kementerian Sekretariat Negara.
Komitmen DPR dan Pemerintah
Dari hasil rapat dengar pendapat, DPR bersama kementerian menyatakan komitmen untuk menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Pimpinan DPR memutuskan dua hal pokok yakni mendorong Presiden membentuk BP-RAN yang berada langsung di bawah Presiden, serta membentuk Pansus Penyelesaian Konflik Agraria lintas fraksi untuk mengawasi jalannya reforma agraria.
Selain itu, DPR juga menyatakan dukungan terhadap percepatan kebijakan satu peta dengan mengakui peta rakyat di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, bahkan menegaskan bahwa pengesahan Pansus akan dilakukan pada penutupan Sidang Paripurna DPR, 2 Oktober 2025.
Krisis dan 24 Masalah Struktural
Dewi mengingatkan bahwa selama 65 tahun pelaksanaan reforma agraria mandek. Akibatnya, muncul 24 masalah struktural yang memperparah kemiskinan dan memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi
“Situasi krisis ini harus direspon secara cepat dan tepat oleh penyelenggara negara, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat,” katanya.
KPA menekankan, Pansus harus menjadi terobosan politik dan hukum untuk mengurai kebuntuan pelaksanaan reforma agraria sekaligus menjadi katalisator agar kebijakan ini sesuai dengan mandat TAP MPR RI No. IX/2001 dan UUPA 1960.
Selain Pansus, KPA mendesak pembentukan BP-RAN sebagai lembaga otoritatif dan eksekutorial di bawah Presiden.
Menurut Dewi, keberadaan lembaga ini sangat mendesak untuk menyelesaikan konflik agraria lintas sektor, menjalankan redistribusi tanah bagi petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya, serta mengembangkan kawasan produktif pasca redistribusi.
“Hanya dengan kelembagaan yang kuat, konflik agraria lintas sektor bisa diselesaikan, redistribusi tanah dapat dijalankan untuk petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya, serta kawasan produktif rakyat dapat dikembangkan pasca-redistribusi,” tegasnya.
KPA menyoroti kelemahan kebijakan satu peta pemerintah yang dinilai hanya menitikberatkan pada sinkronisasi antarlembaga, minim transparansi, dan berorientasi proyek.
Pada periode sebelumnya, pendanaan kebijakan ini bahkan dikendalikan oleh Bank Dunia. KPA menilai hal tersebut berpotensi mendorong liberalisasi tanah dan bertentangan dengan ideologi bangsa, sehingga gagal menyentuh akar masalah agraria.
Karena itu, KPA mendesak agar kebijakan satu peta benar-benar mengakui LPRA usulan rakyat, termasuk dari petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, hingga kelompok marginal.
KPA mengingatkan DPR dan Presiden untuk tidak hanya menjawab sebagian tuntutan, tetapi keseluruhan sembilan poin perbaikan yang diajukan. Menurut KPA, sembilan tuntutan tersebut merupakan jalan konkret untuk mengurai 24 masalah struktural agraria yang sudah berlangsung menahun.